Selasa, 17 Maret 2009

INDAH KABAR DARI RUPA

Bagian Ketiga Dari 4 Tulisan

Oleh : Julius Sangguwali



DI awal rangkaian wacana EAS (Esra Alfred Soru) terhadap FD (Frans Donald), mengemukakan bantahan bahwa doktrin Tritunggal bukan produk Konsili Nicea tahun 325 M (Timex, Selasa, 9/12/2008:4). Oleh sebab itu, EAS menyodorkan bukti-bukti sejarah bahwa ajaran Trinitas sudah ada jauh sebagai ajaran dari Bapa-Bapa Gereja sebelum Konsili Nicea.

Bukti sejarah pertama yang diajukan (tentang Aristides telah diuraikan pada bagian pertama rangkaian tulisan ini). Jadi, tidak perlu diulangi lagi. Sebab itu EAS menulis untuk bukti selanjutnya, “Pada tahun 150 M Justin Martyr menulis: ‘Allah dari alam semesta memiliki seorang Putera, yang juga menjadi yang pertama dilahirkan dari Firman Allah, bahkan Allah’. (Justin Martyr, First Apology, ch 63). Ia mengutip Ibrani 1:8 untuk membuktikan keilahian Kristus, ‘Takhta-Mu, ya Allah, tetap untuk seterusnya dan selamanya’ (Dialogue with Trypo, ch 56) dan mengatakan: Oleh karena itu kata-kata ini (Ibr 1:8) menyatakan dengan tegas bahwa Ia (Kristus) disaksikan oleh Dia yang menetapkan/mengadakan segala sesuatu, sebagai yang layak untuk disembah, sebagai Allah dan sebagai Kristus (Dialog with Trypo, ch, 63). Di dalam Justin Martyr in Chap. LXVI para muridnya mengatakan bahwa Ia (Justin) membuktikan dari Kitab Yesaya bahwa Allah telah dilahirkan dari seorang perawan. Justin Martyr dalam dialognya dengan Trypo mengatakan kepada trypo bahwa: ‘Ia yang dipanggil sebagai seorang manusia oleh Yehezkiel, Anak Manusia oleh Daniel, seorang anak oleh Yesaya, dan Kristus dan Allah yang disembah oleh Daud….Untuk itu engkau harus mengerti bahwa ia yang dicatat oleh para nabi, tidak bisa kamu tolak bahwa Ia adalah Allah….Trypo juga mengatakan kepada Justin Martyr bahwa, ‘Kamu berkata bahwa Kristus sebagai Allah sebelum segala zaman dan bahwa Ia merendahkan diri dan dilahirkan menjadi manusia’….Kutipan-kutipan di atas membuktikan bahwa Justin Martyr yang hidup pada tahun 150 M sudah percaya bahwa Yesus adalah Allah.”

Hanya Dua Subjek

Perhatikan kutipan ini sama seperti sebelumnya--ketika EAS menggaris bawahi sehubungan dengan Aristides--hal yang sama juga digarisbawahi sebagai penekanan pada beberapa subjek dari ajaran Justin Martyr (1. bahkan [sebagai] Allah; 2. Kristus adalah Allah; 3. Ia adalah Allah). Tapi di mana konsep dari Justin Martyr tentang Allah dari Alkitab adalah Allah Tritunggal? Kutipan ini, hanya menunjukkan dua subjek. Di mana subjek ketiganya? Bukankah--tulis EAS--Justin Martyr sebagai “bapa-bapa gereja pra Nicea percaya...kepada doktrin Tritunggal”? Bukan Justin Martyr yang percaya kepada doktrin Tritunggal, melainkan EAS-lah yang terlebih dulu sudah terobsesi bahwa Justin Martyr penganut doktrin Tritunggal. Kutipan EAS pada kalimat terakhir, ‘Justin Martyr yang hidup pada tahun 150 M sudah percaya bahwa Yesus adalah Allah”, tentu tidak sama secara tersurat, ia percaya doktrin Tritunggal. Ini namanya: Indah kabar dari rupa (kabar biasanya melebihi keadaan sebenarnya).

Akan tetapi, sebelumnya terus terang saya ragu terhadap kutipan yang dipakai? EAS mencantumkan dengan metode (cara) yang tidak lazim, sebagaimana sudah dikutip di atas seperti ini: Justin Martyr, First Apology, ch 63; Dialogue with Trypho, ch 56, dan 63; Justin Martyr in Chap. LXVI; Dialogue of Justin with Trypho, A Jew, Chap. CXXVI [lihat juga The First Apology of Justin, Chap. XIII; XXII; LXIII; Dialogue of Justin with Trypo, A Jew, Chap. XXXVI; XLVIII; LVI; LIX; LXI; C; CV; CXXV; CXXVIII]; Dialogue with Trypho, ch 48.

Memang benar Justin Martyr menulis beberapa buku seperti Dialogue With Trypo dan First Apology dalam bahasa Yunani. Tetapi apakah EAS memiliki buku-buku ini. Saya yakin tidak. Jadi secara metode, EAS harus mencantumkan sumber bahan yang menulis buku-buku Justin Martyr. Jika sumber itu berupa buku, apa nama judul bukunya. Kalau dalam bahasa asing, kutip pula bahasa aslinya. Metode semrawut ini, apa memang disengaja untuk menutupi sesuatu sehingga pembaca binggung? Dengan demikian, pernyataan EAS pada tulisan terakhirnya (Timex, Jumat, 12/12/2008:4), “Saya sudah membuktikan bahwa hampir sebagian besar kutipan yang dilakukan oleh Frans Donald adalah hasil penipuan dan manipulasi…siapa bisa jamin bahwa dalam buku-buku…Frans mengutip dengan jujur kalau sebagian besar dengan cara tidak jujur?”, pantas dikembalikan pada EAS?

Apakah ini juga bukan maling teriak maling? Tentu pembaca yang lebih tahu. Saya hanya ingin lagi menyatakan: Indah kabar dari rupa. Soal kutip mengutip itu adalah masalah teknis yang bisa diperbaiki kemudian. Janganlah mengabaikan peribahasa yang sudah terbukti: Tiada gading yang tak retak. Silakan EAS memperbaiki sumber kutipan pada tanggapan berikut, pasti FD akan melakukan hal yang sama, maka selesailah masalah teknis ini. Itu namanya, etika dalam berargumen. Terasa kanak-kanak ungkapan EAS ini, “Salahkah jika Sdr. Anton Bele berkata ‘Anathema Sit!?’ Silahkan pembaca menilai sendiri!!! Saya hanya menghadirkan Frans Donald yang sudah ‘telanjang’ di hadapan para pembaca sekalian dan silahkan masing-masing orang memberikan penilaian kepada si Unitarian ini!!”. Weleh-weleh ini namanya: Lain gatal lain digaruk (lain sakit lain obatnya).

Sebagai Perbandingan

Terlepas dari teknik mengambil sumber kutipan, maka secara substansi, benarkah Justin Martyr yang menulis surat-suratnya dalam bahasa Yunani, mengajarkan bahwa: Sang Putra sama kedudukannya dengan Sang Bapa, Yahweh? Terkesan dari sumber kutipan yang asal-asalan dari EAS, jawabannya: Benar! Namun dalam tulisan ini saya tidak ingin menghakimi, EAS salah atau tidak. Sebagai perbandingan, saya kutip buku Dr. H.R. Boer (A Short History of the Early Church, 1976:110) yang mengomentari hakikat utama pengajaran Para Apoligis, “Justin taught that before the creation of the world God was alone and that there was no Son....When God desired to create the world,...he begot another divine being to create the world for him. This divine being was called...Son because he was born; he was called Logos because he was taken from the Reason or Mind of God” (Justin [Martyr] mengajarkan bahwa sebelum penciptaan dunia, Allah seorang diri dan tidak ada Putra….Sewaktu Allah bermaksud menciptakan dunia,…Ia memperanakkan wujud ilahi lain untuk menciptakan dunia bagi-Nya. Wujud ilahi ini disebut….Putra karena ia dilahirkan; ia disebut Logos karena ia diambil dari Penalaran atau Pikiran Allah)

Boer masih menambahkan, “Justin and the other Apologists therefore taught that the Son is a creature. He is a high creature, a creature powerful enough to create the world but, nevertheless, a creature. In theology this relationship of the Son to the Father is called subordinationism. The Son is subordinate, that is, secondary to, dependent upon, and caused by the Father. The Apologists were subordinationists” (Justin dan Para Apologis lainnya dengan demikian mengajarkan bahwa Putra adalah suatu ciptaan. Ia merupakan ciptaan yang unggul, suatu ciptaan yang cukup berkuasa untuk menciptakan dunia namun, tetap suatu ciptaan. Dalam teologi, hubungan sedemikian antara Putra dan Bapa disebut subordinasionisme. Putra lebih rendah, yaitu, yang kedua sesudah, bergantung kepada, dan dijadikan oleh sang Bapa. Para Apologis adalah penganut subordinasionisme).

Dengan dua contoh catatan sejarah yang diajukan EAS (termasuk Aristides pada bagian awal tulisan ini) yang saya angkat, jelas menunjukkan Aristides dan Justin Martur tidak mengenal, apalagi percaya dan mengajarkan doktrin Tritunggal, baik secara tersurat maupun tersirat. Itu adalah tafsiran yang dipaksakan oleh EAS. Sebagai tambahan untuk perbandingan sejarah bagi EAS, terdapat pernyataan yang lebih awal (dibandingkan contoh yang dikemukakan oleh EAS: Aristides 140 M; dan Justin Martyr 150 M) yang ditemukan dalam sebuah buku berisi 16 pasal yang disingkat dan dikenal sebagai The Didache, atau Teaching of the Twelve Apostles (Pengajaran Kedua belas Rasul). Beberapa sejarawan menganggapnya ditulis sebelum atau sekitar tahun 100 M. Penulisnya tidak diketahui (A Dictionary of Christian Theology, 1969:95, diedit oleh Alan Richardson, 1969, The New Encyclopædia Britannica, 15th Edition, 1985:79, Micropædia, Volume 4).

The Didache membahas tentang hal-hal yang perlu diketahui orang-orang untuk menjadi kristiani. Dalam pasal ketujuh, buku ini menetapkan baptisan “in the name of the Father and of the Son and of the Holy Spirit” (dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus), kata-kata yang sama yang digunakan Yesus di Matius 28:19 (Robert A. Kraft, 1965:163, The Apostolic). Namun buku itu tidak mengatakan apa-apa tentang ketiganya sederajat dalam kekekalan, kuasa, kedudukan, dan hikmat. Dalam pasal kesepuluh, The Didache memasukkan pernyataan iman berikut ini dalam bentuk sebuah doa, “We thank you, Holy Father, for your holy Name which you have made to dwell in our hearts; and for the knowledge and faith and immortality which you have made known to us through Jesus your Servant. Glory to you forever! You, Almighty Master, created everything for your Name’s sake...And to us you have graciously given spiritual food and drink, and life eternal through Jesus your Servant” (Kami bersyukur kepada-Mu, Bapa yang Suci, untuk nama-Mu yang suci yang telah Engkau taruh di dalam hati kami; dan untuk pengetahuan dan iman dan kekekalan yang telah Engkau beritahukan kepada kami melalui Yesus Hamba-Mu. Kemuliaan bagi-Mu selama-lamanya! Engkau, Tuhan Yang Maha Kuasa, menciptakan segala sesuatu demi nama-Mu...Dan Engkau telah memberi kami makanan dan minuman rohani, dan kehidupan kekal melalui Yesus Hamba-Mu) (Kraft, 1965:166-167).

Ada Tritunggal?


Silakan EAS resapi, apakah ada Tritunggal di sini? Tidak! Oleh sebab itu dalam The Influence of Greek Ideas on Christianity, Edwin Hatch (1987:252) mengutip kata-kata tersebut di atas kemudian menulis, “In the original sphere of Christianity there does not appear to have been any great advance upon these simple conceptions. The doctrine upon which stress was laid was, that God is, that He is one, that He is almighty and everlasting, that He made the world, that His mercy is over all His works. There was no taste for metaphysical discussion” (Dalam ruang lingkup pengaruh yang mula-mula dari kekristenan tidak terlihat kemajuan yang besar atas gagasan sederhana ini. Doktrin yang ditekankan adalah, bahwa Allah ada, bahwa Ia adalah satu, bahwa Ia Maha Kuasa dan Kekal, bahwa Ia menciptakan dunia, bahwa kemurahan hati-Nya ada di atas segala ciptaan-Nya. Tidak ada kecenderungan akan pembahasan filosofis yang abstrak).

Dari pernyataan non-Alkitab yang demikian, rasanya aneh ketika rekan satu aliran EAS, James Lola menulis di awal tanggapannya (Timex, Kamis, 27/11/2008, “…kepercayaan terhadap ketidak percayaan kepada Ketritunggalan dalam Iman Kristen dan mengenai Ke Allahan Kristus adalah suatu kepercayaan yang tidak teruji di dalam sejarah atau dapat dikatakan adalah suatu kepercayaan yang telah hilang ditelan sejarah dan sesuatu yang telah dikalahkan sejarah”. Benarkah pendapat ini? Jika diikuti catatan di atas, jawabannya sudah diketahui, tidak benar. Apa pun bentuk wacana sehubungan dengan kepercayaan kepada Allah Yahweh dari kaum Unitarian, selalu ada sepanjang sejarah. Bahkan perlawanan kepada ajaran Allah Tritunggal berupa wacana (atau apa pun istilahnya) tetap saja ada, walau tidak ada penyelesaian yang tuntas dan dapat memuaskan semua pihak. Hal ini disebabkan karena wacana-wacana itu sejak abad ke-IV hingga sekarang, berangkat dari ketidak tulusan dan selalu disertai ancaman, penuh dengan intrik politis. Bukankah ini, setidaknya dibenarkan--sebagaimana tercermin dari pendapat James Lola, “…bahwa orang Kristen tidak perlu seperti ‘kebakaran jenggot’ [baca: mengutuk] ketika menerima atau mendapati pemikiran [baca: berbeda] yang seperti tulisan Frans Donald”.

Catatan sejarah kelam bagi yang berbeda pendapat terhadap doktrin Tritunggal diuraikan di buku A Short History of Cristian Doctrine (Bernhard Lohse, Edisi 1980:53), “But as for those who say, There was [a time] when [the Son] was not, and, Before being born He was not, and that He came into existence out of nothing, or who assert that the Son of God is of a different hypostasis or substance, or is created, or is subject to alteration or change--these the Catholic Church anathematizes” (Akan tetapi bagi mereka yang mengatakan, Ada [satu waktu] bilamana [Putra] tidak ada, dan bahwa Ia menjadi ada dari ketiadaan, atau siapa yang menyatakan bahwa Putra Allah terdiri dari wujud atau zat yang berbeda, atau diciptakan, atau bisa diubah atau berubah--mereka ini dikutuk oleh Gereja Katolik).

Ini adalah sebagian konsili para uskup di Nicea di Asia Kecil pada tahun 325 M yang merumuskan suatu kredo yang menyatakan Putra Allah sebagai “Allah yang sejati” (true God), yang sekaligus berisi Anathemas on Opposers. Jadi, siapa saja yang percaya bahwa Putra Allah tidak sama kekalnya dengan Bapa atau bahwa Putra diciptakan, diserahkan kepada kutukan kekal. Dapat dibayangkan tekanan yang bersifat politis atas iman kaum awam untuk tidak boleh memilih sesuai hati nurani, selain menyetujui hal ini. Padahal, pilihan dan paksaan dua kutup berbeda, bukan? Ya, bagaikan mangga dengan jeruk, sangat berbeda bukan?

Surat Rasuli Policarp

Kembali pada bukti sejarah ketiga dari EAS. Ia menulis, “Pada tahun 150 M juga Polycarpus dari Smirna mengatakan: Aku memuji-Mu untuk segala sesuatu, aku memberkati-Mu, aku memuliakan-Mu bersama dengan yang kekal dan Kristus surgawi. Putera-Mu yang terkasih, dengan siapa, kepada-Mu dan Roh Kudus, kemuliaan bagi kedua-Nya sekarang sampai selamanya. Amin! (Martyrdom of Polycarp 14). Jelas bahwa Polycarpus memuji dan menyembah dan memberi kemuliaan kepada Bapa, Kristus dan Roh Kudus.” Bukti ini selain bermasalah dengan kutipan yang tidak menyebut dari sumber mana, juga tidak ada petunjuk suatu Tritunggal/Trinitas yang diajarkan Polycarp. Kalau ada, mengapa Polycarp tidak menyebutnya, selain mengungkapkan Bapa, Kristus dan Roh Kudus. Apa yang ditulis Polycarp selaras dengan apa yang diajarkan oleh Yesus dan para murid dan rasulnya. Misalnya dalam Surat Rasuli¬-nya, Polycarp menulis, “May the God and Father of our Lord Jesus Christ, and Jesus Christ Himself, who is the Son of God,...build you up in faith and truth” (Kiranya Allah dan Bapa dari Tuhan kita Kristus Yesus, dan Kristus Yesus Sendiri, yang adalah Putra Allah,…membangun kamu dalam iman dan kebenaran) (The Ante-Nicene Fathers, Volume I:35, diedit oleh Roberts dan James Donaldson, Americana Reprint of the Edinburgh Edition, 1985).

Perhatikan, Polycarp tidak berbicara tentang suatu hubungan “Bapa” dan Putra” Tritunggal/Trinitas yang sama dalam suatu keilahian. Sebaliknya, ia berkata tentang “the God and Father” (Allah dan Bapa) dari Yesus, tidak hanya ‘Bapa dari Yesus’. Jadi Polycarp memisahkan Allah dari Yesus, sama seperti apa yang berulang kali dilakukan oleh para penulis Alkitab. Paulus berkata di 2 Kor. 1:3, “Terpujilah Allah, Bapa Tuhan kita Yesus Kristus…” Polycarp tidak hanya mengatakan, “Blessed be the Father of Jesus” (Terpujilah Bapa [dari] Yesus) tetapi, “Blessed be the God and Father” (Terpujilah Allah dan Bapa) (dari) Yesus.

Juga Polycarp menulis (hlm. 33), “Peace from God Almighty, and from the Lord Jesus Christ, our Saviour” (Damai dari Allah Yang Mahakuasa, dan dari Tuhan Kristus Yesus, Juruselamat kita). Sekali lagi di sini, Yesus berbeda dari Allah Yang Mahakuasa, bukan satu pribadi yang sederajat dari suatu Keilahian tritunggal. Untuk menanggapi sekitar hal ini, terasa sudah cukup, untuk membuktikan EAS telah memanipulasi ajaran bapa-bapa pra-Nicea ini, menjadi: Lebih ‘indah kabar dari rupa’. Masih banyak kesempatan untuk menulis sekitar ajaran ini.

*) Pemikir bebas, guru bahasa Inggris. Tinggal di Kupang.

Tidak ada komentar: