Bagian Kedua Dari 4 Tulisan
Oleh : Julius Sangguwali
PADA bagian kedua ini, masih merupakan kelanjutan pembahasan terhadap gagasan bahwa istilah Tritunggal/Trinitas, walau tidak ada dalam Alkitab tetapi menurut "Triotunggal”: EAS (Esra Alfred Soru), James Lola dan Nelson Liem, sangat jelas diajarkan dalam Alkitab. Bagi pembaca yang baru membaca bagian ini, harap membacanya juga bagian pertama tulisan ini.
Pada gagasan ketiga EAS berpendapat: Karena hal ini [istilah dan rumusan Tritunggal/Trinitas, pen.] berkaitan dengan wahyu Allah. Allah menyatakan diri-Nya kepada manusia lewat Alkitab yang adalah wahyu khusus-Nya. Meskipun demikian pewahyuan diri Allah ini terjadi secara bertahap. Inilah yang dalam teologi Kristen dikenal dengan istilah ‘Progresive Revelation’ (Wahyu progresif) artinya wahyu yang bersifat semakin maju, makin lama makin jelas, semakin lama muncul penjelasan-penjelasan yang semakin kompleks dan semakin sempurna.”
Kalimat di atas sebenarnya ngambang sehingga menimbulkan multi tafsir. Yang disebut wahyu “khusus-Nya” itu bagaimana? Apa Alkitab? Kalau yang dimaksud adalah Alkitab, maka seperti sudah diuraikan pada bagian pertama, tidak terbukti bahwa istilah “Tritunggal/Trinitas”, ada di dalamnya, apalagi dianggap sebagai ‘wahyu-Nya’. Kalau yang dimaksudkan adalah ajaran doktrin Tritunggal/Trinitas adalah samar-samar atau berisi rujukan-rujukan, jelas bertentangan dengan argumen EAS sendiri sebelumnya bahwa, “Konsep tentang tritunggal sangat berakar kuat baik dalam PL [Perjanjian Lama] maupun PB [Perjanjian Baru].” Benar-benar sebuah konsep yang serba kusut. Benarlah kata orang bijak, “Air keruh di hulu sampai jua ke muara” (kalau permulaannya sudah dimulai dengan kekusutan, maka sampai akhirnya pun akan kusut juga). Doktrin Tritunggal memulai dari hulu (awal) yang “keruh”--hanya berisi rujukan-rujukan, hasilnya (hulu) muncul argumen yang ambigu (kabur, tidak jelas).
Pasti Tumbang!
Jika dipermasalahkan lagi, konsep “berakar kuat” itu yang seperti apa? Lha istilah Tritunggal/Trinitas saja tidak ada, lalu bagaimana bisa disebut berakar kuat? Apa bedanya dengan pengakuan sebelumnya yang telah diuraikan pada bagian pertama bahwa konsep ajaran Tritunggal adalah “sangat jelas” ada dalam Alkitab? Tetapi kenyataan (bukti), bangunan itu dibangun di atas pasir yang tidak stabil. Boleh saja EAS dkk secara bombaptis menyatakan sebagai berakar kuat, tetapi jika akarnya tumbuh di atas pasir yang rapuh, lambat atau cepat, pasti tumbang! Semua ini menunjukkan doktrin Tritunggal, “berakar” pada gagasan khayalan, bagaikan mimpi di siang hari bolong.
Lebih ambigu lagi kata-kata selanjutnya dari EAS: Pewahyuan diri Allah ini terjadi secara bertahap. Wahyu progresif yang bersifat semakin maju, makin lama makin jelas, semakin lama muncul penjelasan-penjelasan yang semakin kompleks dan semakin sempurna. Pertanyaannya, wahyu yang bertahap itu yang bagaimana? Apa yang dimaksud adalah Alkitab? Ataukah penjelasan/tafsiran terhadap Alkitab, lalu kemudian dianggap sebagai “wahyu”, begitukah maksudnya?
Memang EAS sendiri menjawabnya (Timex, Sabtu, 27/1/2007:4, kolom pertama dan kedua) dengan mengutip panjang-lebar dari buku Westminster Confession of Faith dan juga dari buku Allah Tritunggal karya junjungan EAS, Stephen Tong. Dengan mengacu pada dua buku karangan manusia (jangan lupa ini hanya sumber data tambahan), EAS sampai pada kesimpulan--yang juga terlihat ambigu, bahwa “…alasan mengapa kebenaran tritunggal dinyatakan/diwahyukan adalah agar manusia gampang memahaminya dan juga supaya manusia tidak jatuh kepada politeisme.´ Itu sebabnya kita tidak akan menemukan suatu rumusan yang lengkap tentang doktrin tritunggal dalam PL [Perjanjian Lama, pen.]. Nanti setelah wahyu Allah selesai dengan datangnya PB [Perjanjian Baru, pen.] barulah seluruh konsep tentang diri Allah dinyatakan sebagaimana dikatakan Westminster Confession of Faith (hal. 24): ‘Hanya ketika rencana penebusan Allah digenapi, barulah Allah diketahui seluruhnya’.”
Ungkapan ‘gampang memahami’ terhadap ajaran Tritunggal itu yang bagaimana? Anak kecil pun dapat menyatakan hal itu. Konsep ‘gampang memahami’ dari EAS, bisa jadi mengikuti kesimpulan beberapa orang bahwa yang diartikan oleh ajaran Tritunggal adalah sekadar menganggap Yesus memiliki keilahian dan keallahan. Mungkin pula, bahwa percaya kepada Tritunggal tidak lebih dari percaya kepada Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Sebaliknya, pengamatan yang teliti atas kredo-kredo ajaran Tritunggal menunjukkan, betapa tidak memadai gagasan-gagasan sedemikian jika dihubungkan dengan doktrin yang formal tersebut. Dengan demikian, saya ingin tertawa membaca ungkapan selanjut EAS, ‘…supaya manusia tidak jatuh pada politeis.’ Artinya di luar dari doktrin Tritunggal, menurut EAS, ‘orang pasti jatuh pada politeis!’ Nah, pertanyaannya, apakah Patriak Abraham yang sama sekali tidak mengenal doktrin Tritunggal/Trinitas, dan bahkan Allah Tritunggal/Trinitas, adalah termasuk politeis? Biarlah EAS menjawabnya sendiri.
Masih mempunyai hubungan erat dengan pernyataan di atas, EAS masih membuat argumen ambigu, “Itu sebabnya kita tidak akan menemukan suatu rumusan yang lengkap tentang doktrin tritunggal dalam PL [Perjanjian Lama, pen.]. Nanti setelah wahyu Allah selesai dengan datangnya PB [Perjanjian Baru, pen.] barulah seluruh konsep tentang diri Allah dinyatakan sebagaimana dikatakan Westminster Confession of Faith (hal. 24): ‘Hanya ketika rencana penebusan Allah digenapi, barulah Allah diketahui seluruhnya’.”
Kata Kunci
Perhatikan kata kunci yang perlu ditanggapi, yaitu “seluruh(nya)” yang ditulis EAS. Tentu yang dimaksud adalah Perjanjian Baru mengakomodasi ajaran Tritunggal secara ‘seluruh’[nya], lengkap, tuntas, jelas, nyata, gamblang, atau dengan istilah-istilah sejenisnya. Tetapi dengan gerakan satu jurus saja, EAS mati kutu! Di ayat mana, bukti atau bentuk yang lengkap, tuntas, jelas, nyata, gamblang sehubungan dengan (1) istilah Tritunggal/Trinitas; (2) Allah Tritunggal/Trinitas, ada dalam Alkitab? Jawabannya sangat tegas: Tidak ada!
Tertawa saya semakin berlanjut ketika membaca kalimat ngawur dari EAS ini, ‘semakin lama muncul penjelasan-penjelasan yang semakin kompleks dan semakin sempurna. ‘ Sangat lucu pendapat ini. Mengapa? Alkitab telah selesai ditulis pada akhir abad pertama dan secara doktrin adalah lengkap. Ini termasuk jati diri Allah--ajarannya yang paling penting--dalam Alkitab. Apa gunanya menahan ‘penjelasan’ atas jati dirinya, sementara ajaran-ajaran dasar lainnya adalah jelas? Pasti sebagai pencipta alam semesta, tidak akan sulit untuk menerangkan diri-Nya sebagai Allah Tritunggal/Trinitas--seandainya memang demikian? Ternyata Alkitab dengan konsisten tidak menulis dan mengajarkan doktrin Tritunggal, alasannya sederhana saja: Doktrin itu bukan ajaran Alkitab.
Tuntutan tertulis ini apakah tidak terlalu berlebihan? Tidak! Mari dilihat contoh-contohnya di Alkitab. Pertama, di Mat. 4:3-10, maka di ayat 4, 7, dan 10 Yesus mengatakan ‘Ada tertulis’. Jadi ada tiga kali Yesus mengungkapkan “ada tertulis”. Kedua, di Mat. 12:1-8, ada dua kali (ayat 3 dan 5) Yesus berkata, ‘Tidakkah kamu baca”. Ketiga, Luk. 10:25-29, ada dua kali Yesus berkata (ayat 26), “Jawab Yesus kepadanya: ‘Apa yang tertulis dalam hukum Taurat? Apa yang kaubaca di sana?’” Keempat, Luk. 17:32, Yesus berkata, “Ingatlah akan isteri Lot!” (tentu Yesus sedang merujuk pada Kejadian 19:26 yang berbunyi, “...isteri Lot, yang berjalan mengikutinya, menoleh ke belakang, lalu menjadi tiang garam). Memang semua contoh-contoh ayat ini tidak sedang membicarakan tentang jati diri Allah dari Alkitab, tetapi bisa dijadikan pelajaran (aplikasi) yang menunjukkan bagaimana Tu(h)an Yesus sering kali mengutip, menyadur, atau menyinggung ayat-ayat Alkitab untuk menjawab pertanyaan dan menangani situasi yang dihadapinya. Di ayat-ayat ini juga, Yesus balik bertanya, mempersilahkan si penanya untuk menjelaskan pemahamannya tentang sebuah ayat, dan Yesus mengutip, menyadur, atau menyinggung ayat-ayat itu.
Pada abad pertama, gulungan Tulisan-Tulisan Kudus biasanya disimpan di sinagoga. Tidak ada bukti bahwa Yesus mempunyai koleksi pribadi gulungan-gulungan itu, tetapi ia mengenal baik Alkitab yang sering dirujuknya secara leluasa sewaktu mengajar orang lain (Luk. 24:27, 44-47). Bahkan di Yoh 8:26, Yesus dapat mengatakan bahwa apa yang diajarkannya tidak berasal dari dirinya sendiri, melainkan ia mendengar dari Bapa-Nya sewaktu ia masih di surga.
Lalu bagaimana dengan wacana tentang ajaran Tritunggal yang katanya “Alkitabiah” itu, tidakkah seharusnya ingin meniru teladan Yesus? Apa yang dibuat oleh EAS dkk, jelas di luar pola dari ajaran Yesus. Memang EAS tidak mendengar Allah berbicara secara langsung. Tetapi, Alkitab adalah Firman Allah. Apabila menggunakannya sebagai dasar jawaban, EAS tidak menarik perhatian kepada diri sendiri, atau hal-hal di luar Alkitab. Justru EAS memperlihatkan, bukannya menyuarakan pendapat manusia yang tidak sempurna, melainkan bertekad teguh untuk membiarkan Allah menentukan standar kebenaran (Yoh. 7:18; Rm. 3:4). Disadari, konsep yang demikian akan bergantung pada sikap dalam mengantar gagasan-gagasan Alkitab, dengan mengatakan, (1) “Setujukah pembaca bahwa yang terpenting adalah apa yang Allah katakan tentang ajaran Trinitas/Tritunggal?” (2) “Tahukah pembaca bahwa Alkitab membahas pertanyaan-pertanyaan tentang ajaran Trinitas/Tritunggal?”
Siapa saja yang menerima Alkitab sebagai Firman Allah mengakui bahwa mereka mempunyai tanggung jawab khusus untuk mengajar orang-orang lain tentang Sang Pencipta. Mereka juga menyadari bahwa isi pokok yang dipergunakan untuk mengajar tentang Allah harus benar. Mengapa? Salah satu persyaratan untuk melayani sebagai hamba Tu(h)an adalah bahwa “...berpegang teguh kepada perkataan yang benar, yang sesuai dengan ajaran yang sehat, supaya ia sanggup menasihati orang berdasarkan ajaran itu dan sanggup meyakinkan penentang-penentangnya” (Tit. 1:9). Tentu prinsip ini berlaku pula ketika menjelaskan tentang ajaran dasar seperti Trinitas/Tritunggal, agar pandangan atau nasihat semacam itu berdasar kuat pada Alkitab! Sebaliknya, tidak spekulatif, tidak samar-samar, atau bahkan bersifat tersirat saja!
Sekali lagi saya ingin mengutip pendapat Eben Nuban Timo (ENT) bahwa, “Dia (baca: ajaran Trinitas/Tritunggal) berkembang karena tuntutan zaman…” (Timex, Kamis, 23/9/2004:4). Secara tidak langsung menunjukkan ajaran Trinitas telah mengalami desakan supaya sejalan dengan kecenderungan zaman (trend) memiliki sejarah yang panjang. Hal ini memunculkan pertanyaan, bagaimana perasaan Allah terhadap perubahan ini, apakah akan diterima? Apakah gereja-gereja yang mensponsori perubahan, pantas menyebut diri Kristen? Di sinilah perbedaan FD dan EAS. Yang disebut terakhir ini agaknya lebih menekan faktor kepentingan agama-teologi dengan tidak ada batas demarkasi. Perbedaan disebabkan karena perbedaan kerangka dasar pijak. Jika FD berangkat dari “atas” (tertulis), hal yang seharusnya dari Alkitab--nilai ideal dari yang tertulis--maka tentu catatan ini tidak perlu diperpanjang lagi, karena siapa saja tidak bisa melangkahi wewenang dari apa yang tersurat, terilham dari Allah. Sebaliknya EAS berangkat dari “bawah”, kondisi riil yang mengikuti arus trend duniawi. Tidak usah heran jika banyak orang yang berhati tulus seperti Prof JB Banawiratma, Romo Tom Jacobs, dan Hortensius F. Mandaru serta Frans Donald, yang belakangan berbalik pendapat bahwa Yesus bukan Allah Anak, tetapi Putra/Anak Allah. Ya, ternyata Yesus memiliki iman kepada Allah Yahweh!
Melukis Potret Diri
Pasti masih banyak orang yang berhati tulus setelah melihat bukti-bukti ajaran Tritunggal--yang diklaim sebagai Alkitabiah--sementara itu jelas-jelas tidak tertulis di dalam Alkitab, akhirnya “tersandungan”. Mengapa? Keadaan ini dapat diilustrasikan, misalkan EAS meminta seorang seniman melukis potret diri. Ketika sang seniman merampungkannya, EAS merasa senang; kemiripannya sempurna. EAS membayangkan bahwa anak-cucu-cicit akan melihat lukisan itu dengan bangga.
Akan tetapi, pada beberapa generasi kemudian, salah seorang keturunan EAS merasa bahwa menipisnya rambut EAS pada lukisan itu kurang bagus, jadi ia menambahkan rambut di sana. Bentuk hidung juga kurang disukai, jadi diubahnya juga. “Perbaikan” lainnya dilakukan oleh generasi-generasi selanjutnya, sehingga akhirnya lukisan wajah EAS sudah jauh berbeda dengan aslinya. Jika EAS tahu bahwa ini akan terjadi, bagaimana perasaan EAS? Pasti, tidak senang.
Sayangnya, kisah tentang potret diri ini mirip dengan kisah mereka yang mengaku diri Kristen. Sejarah menunjukkan, tidak lama setelah kematian rasul-rasul Kristus, wajah “Kekristenan” yang sesungguhnya mulai berubah, tepat seperti yang Alkitab nubuatkan (Mat. 13:24-30, 37-43; Kis. 20:30). Seperti yang Yesus singkapkan melalui perumpamaan tentang lalang dan gandum, dan melalui ilustrasi tentang jalan yang lebar dan jalan yang sempit (Mat. 7:13, 14). Kekristenan asli akan terus dipraktekkan oleh sedikit orang saja dari zaman ke zaman. Akan tetapi, mereka seolah-olah tertelan oleh mayoritas orang yang seperti lalang, yang memperkenalkan diri dan ajaran sebagai wajah asli Kekristenan.
Tentu saja, sangatlah patut bila prinsip-prinsip Alkitab ini diterapkan dalam berbagai kebudayaan dan zaman. Namun di sisi lain EAS juga harus mengoreksi, patutkah bila ajaran Alkitab diubah agar selaras dengan pemikiran yang sedang populer/trend (tuntutan zaman--sekali lagi pinjam istilah Doktor ENT). Tetapi justru itulah kenyataannya yang terjadi pada sekitar abad ketiga dan keempat, pemimpin-pemimpin agama tertentu yang cukup berpengaruh, yang begitu gandrung pada ajaran trinitas dari filsuf kafir asal Yunani, Plato, mulai memodifikasi paham tentang Allah agar sesuai dengan rumus Trinitas. Catatan sejarah yang ternoda ini tidak dapat dipungkiri karena tersebar di berbagai literatur. Bagi orang yang berhati jujur yang ingin mencari kebenaran, tidak pantaskah ia bertanya, “Mungkinkah mereka telah melampaui perkara-perkara yang tertulis?”
Salah satu faktor untuk dipertimbangkan dalam wacana ini adalah, andai kata doktrin Tritunggal ada dalam Alkitab (karena Yesus dan murid-muridnya dahulu mengajarkan), maka tentu para pemimpin gereja yang hidup segera setelah zaman itu juga akan mengajarkan doktrin Tritunggal. Maka silakan pembaca mengikuti topik ini pada bagian ketiga dari rangkaian tulisan ini.
Namun sebelum bagian kedua ini diakhiri, saya ingin mengutip pandangan Will Durant, yang adalah sejarawan mengakui dengan jujur tentang asal-usul doktrin Tritunggal dalam bukunya, The Story of Civilization: Part III, (1978:595), “Christianity did not destroy paganism; it adopted it....From Egypt came the ideas of a divine trinity” (Kekristenan tidak membuang kekafiran; melainkan menerimanya….Dari Mesirlah gagasan mengenai suatu tritunggal ilahi muncul) (kursif, pen.). Jelas, doktrin Tritunggal tidak berdasarkan Alkitab, tetapi dengan resmi barulah ratusan tahun kemudian diterima pada Konsili Nicea tahun 325. Doktrin tersebut memasukkan gagasan kafir yang mempunyai asal-usul lama berselang di Babel dan Mesir zaman purba dan digunakan di negeri-negeri lain juga.
*) Pemikir bebas, guru bahasa Inggris. Tinggal di Kupang.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar