Matius 18:22-35
Esra Alfred Soru
Jika kita memperhatikan bagian Firman Tuhan ini dengan teliti, maka kita akan melihat suatu konteks yang jelas di mana hal ini diawali dari ajaran Yesus tentang menasihati sesama saudara (
1) Menegur dia secara pribadi (15)
2) Menegur dia dengan bantuan beberapa orang (16)
3) Dibawa ke depan sidang jemaat (17)
Setelah Yesus mengajarkan hal itu, maka datanglah Simon Petrus dengan pertanyaan-nya : “Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudara-saudaraku jika ia ber-buat dosa terhadap aku?” (21) Jadi rupanya pengajaran Yesus inilah yang menjadi penyebab munculnya pertanyaan Petrus. Coba kita perhatikan ayat 15 “apabila saudaramu berbuat dosa…” dan pertanyaan Petrus “sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa…” (21). Kata “saudara” yang muncul baik dalam pengajaran Yesus maupun pertanyaan Petrus memberikan keterangan bahwa sebenarnya hal pengampunan itu dibicarakan dalam konteks relasi dengan sesama saudara seiman. Ini dikuatkan dengan adanya sidang jemaat yang terlibat dalam menasihati orang berdosa tersebut (17). Menanggapi pertanyaan Petrus ini terutama pertanyaan lanjutannya “…sampai tujuh kali?” Yesus berkata “bukan tujuh kali melainkan tujuh puluh kali tujuh kali” (490 kali).
Mungkin menarik juga untuk dipikirkan bahwa Petrus memakai jumlah tujuh untuk pertanyaannya “sampai tujuh kali?” Penggunaan angka tujuh dan kelipatannya (seperti angka 40) adalah hal yang lazim dalam masyarakat Yahudi antara lain seperti pada hari ketujuh Allah berhenti dan menguduskan ciptaan-ciptaan-Nya (Kej 2:2), Yesus mengutus 70 murid (Luk 10:1-12), Yesus mengucapkan 7 perkataan di atas kayu salib, dan jemaat mula-mula memilih 7 orang diaken untuk membantu pelayanan mereka (Kis 6:1-7). Kemungkinan penggunaan angka 7 ini didasarkan pada perhitungan mingguan di mana ada 7 hari dalam seminggu, dan ini dikaitkan dengan pengudusan ciptaan oleh Allah pada hari ke tujuh. Jika demikian maka pertanyaan Petrus “sampai tujuh kali?” mungkin adalah pertanyaan yang mewakili kurun waktu seminggu di mana dalam satu hari harus mengampuni satu kali.
Tetapi apakah jawab Yesus? Yesus berkata “…bukan sampai tujuh kali melainkan tujuh puluh kali tujuh kali” (490 kali). Melihat konteks di atas maka sebenarnya Yesus ingin berkata bahwa Petrus harus mengampuni 70 kali dalam sehari. Kalau dalam sehari harus mengampuni 70 kali maka setiap jam harus mengampuni sebanyak 2,9166 kali (3 kali). Mungkinkah kita mengampuni 3 kali dalam satu jam? Mungkin! Tetapi mungkinkah ada orang yang sama yang dalam setiap jam berbuat tiga kali kesalahan terhadap kita dalam satu minggu? Tidak mungkin! Tetapi seandai pun ada kita harus mengampuninya. Hal ini haruslah membawa kita kepada kesimpulan bahwa sebenarnya Yesus ingin berkata bahwa tidak ada kemungkinan bagi Petrus (termasuk kita) untuk tidak mengampuni orang yang bersalah kepada kita walaupun ia bersalah 3 kali dalam setiap jam selama seminggu. Hal ini jelas kontras dengan pengalaman hidup kita sehari-hari. Kebanyakan orang biasanya memberikan batasan pengampunan sebanyak 3 kali saja untuk selamanya. “Kalau satu kali saya ampuni, dua kali saya ampuni, tiga kali? Tidak ada ampun bagimu!” Jika kita renungkan ajaran Yesus ini maka sungguh betapa jauhnya kita dari apa yang diharapkanNya.
Selanjutnya untuk memperdalam aja-ran-Nya tentang pengampunan ini, Yesus memberikan satu contoh ilustrasi seperti yang tercatat dalam ayat 23-35. Di
Setelah mendapatkan pengampunan dan pembebasan dari raja, hamba itu pergi dan bertemu dengan seorang teman yang berhu-tang kepadanya 100 dinar (kira-kira Rp.7.500,00). Ia mencekik kawannya itu dan memaksanya untuk membayar hutangnya. Meskipun kawannya itu telah memohon perpanjangan waktu dan belas kasihan (seperti yang dilakukannya pada raja) tetapi ia menolak dan menjebloskan kawannya itu ke dalam penjara. Rupanya perbuatannya itu diketahui oleh raja hingga mendatangkan murkanya dan ia menyerahkan orang tersebut (hamba yang pertama) ke tangan algojo-algojo sampai ia dapat melunasi hutang-hutangnya karena ia tidak membebaskan dan mengampuni kawan-nya sebagaimana ia telah di-bebaskan dan diampuni oleh raja. Demikianlah perumpamaan yang dipakai Yesus untuk menjelaskan pengajaran-Nya tentang pengampunan.
Dengan melihat cerita di atas dan dikaitkan dengan jawaban Yesus atas pertanyaan Petrus, maka kita dapati kebenaran bahwa pengampunan Kritiani itu adalah pengam-punan tanpa batas baik menyangkut kualitas maupun kuantitas pelanggaran, dosa dan kesalahan saudara-saudara kita. Pengampunan semacam ini di dasarkan pada dua pertim-bangan :
Pertimbangan teologis
Jika kita melihat kesimpulan dari peng-ajaran Yesus yang tercatat dalam ayat 35, maka kita tentu tahu bahwa sang raja dalam cerita Yesus itu adalah gambaran Bapa yang di sorga dan hamba-hambanya adalah kita sebagai sesama manusia. Yang diinginkan raja itu (Bapa di sorga) adalah kita harus mengampuni saudara-saudara kita yang bersalah kepada kita karena kita telah diampuni terlebih dahulu oleh Bapa yang di sorga sebagaimana hamba itu telah diampuni oleh sang raja. Inilah pertimbangan teologis.
Dengan kata lain yang diinginkan oleh Tuhan ialah kita yang telah diampuni olehNya dapat menjadi saluran pengam-punan itu kepada sesama kita. Tuhan sudah mengampuni kita, dan kita wajib mengampuni orang lain.
Jika kita bandingkan hutang hamba yang pertama itu kepada raja yakni 10.000 talenta (45 milyar rupiah) dengan hutang hamba yang kedua kepada hamba yang per-tama yaitu 100 dinar (Rp. 7.500,00), maka terlihat betapa jauhnya jumlah perbandingannya. Rupanya Yesus ingin katakan lewat cerita ini bahwa sebesar apapun dosa orang lain terhadap kita, masih lebih besar dosa kita kepada Tuhan. Sekalipun demikian Tuhan mau mengampuni kita. Mengapa kita tidak mau mengampuni sesama kita?
Seorang jemaat pernah datang kepada saya dan menceritakan masalahnya di mana ia sulit untuk mengampuni mertuanya yang sering mencuri uang dari tokonya. Ia berkata kepada saya “saya tahu bahwa saya harus mengampuni. Saya tahu bahwa Yesus me-ngajarkan kita untuk mengampuni tujuh puluh kali tujuh kali, tetapi kalau mengingat perlakuan mertua saya semacam itu, saya tidak mampu mengampuninya. Bukan saya tidak mau mengampuni, tetapi saya tidak mampu” . Terus terang saya agak bingung menghadapi maslah semacam ini sebab ini bukanlah menghadapi orang yang tidak mau mengampuni tetapi orang yang tidak mampu mengampuni. Saya hanya memberikan kepadanya beberapa masukan dan berjanji kepadanya bahwa beberapa hari lagi saya akan menemuinya dan membicarakan hal ini lagi. Sepanjang tiga hari saya berdoa untuk masalah ini, dan akhirnya saya mendapatkan suatu formula yang ampuh dari Tuhan. Saya menemui orang itu dan berkata kepadanya “alasan utama ibu tidak dapat mengampuni mertua ibu adalah karena fokus pikiran ibu terarah kepada kesalahan mertua kepada ibu dan bukannya kesalahan-kesalahan ibu (dulu) terhadap Tuhan yang telah diampuni olehNya. Ibu begitu mengingat kesalahan mertua pada ibu sehingga ibu menjadi lupa akan kesalahan-kesalahan ibu kepada Tuhan (yang telah diampuni). Ibu lupa bahwa kesalahan mertua kepada ibu tidak sebanding dengan kesalahan ibu pada Tuhan. Kesalahan mertua pada ibu membuat ibu kehilangan materi (uang), tetapi kesalahan ibu kepada Tuhan membuat Yesus harus kehilangan nyawa-Nya. Kesalahan mertua pada ibu membuat ibu mengalami kerugian sekian juta rupiah, tetapi kesalahan ibu kepada Tuhan membuat Yesus harus tergantung di atas kayu salib. Besar manakah? Kesalahan mertua pada ibu atau kesalahan ibu pada Tuhan? Sekalipun demikian Tuhan telah mengampuni ibu. Mengapa ibu tidak mau mengampuni mertua ibu? Persoalan ibu sebenarnya bukanlah tidak mampu tetapi tidak mau! Fokuskan pikiran ibu pada pe-ngampunan Tuhan yang telah ibu terima dan buka hati ibu agar Roh Kudus memampukan ibu untuk mengampuni” Puji Tuhan, beberapa minggu kemudian ia bertemu dengan saya dan berkata bahwa ia hampir dapat mengampuni mertuanya.
Jika kita mempunyai pertimbangan teologis bahwa :
1) Dosa atau kesalahan kita kepada Tuhan lebih besar dari dosa atau kesalahan sesama kepada kita.
2) Tuhan telah mengampuni dosa kita yang besar itu
Maka tidak ada alasan untuk tidak mengampuni orang yang bersalah kepada kita.
Pertimbangan sosiologis
Yang menjadi pertimbangan sosiologis di sini adalah bahwa ketidakmauan untuk mengampuni dapat merusak nilai-nilai sosial yang ada dalam setiap relasi kita baik relasi dengan Tuhan, dengan sesama dan dengan diri sendiri.
Dalam cerita Tuhan Yesus tadi, hamba pertama yang tidak dapat mengampuni kawannya tanpa sadar telah merusak nilai-nilai sosial dalam relasinya di mana relasinya dengan raja, kawannya dan dirinya sendiri menjadi hancur. Yesus ingin berkata bahwa jika kita tidak mengampuni sesama kita maka :
Relasi kita dengan Tuhan menjadi rusak
Mengapa? Tuhan ialah Ia yang mempunyai hak penuh untuk tidak mengampuni. Sekalipun demikian Ia mau mengampuni kita, sedangkan kita yang tidak mempunyai hal untuk sama sekali untuk tidak mengampuni tidak mau mengampuni sesama kita. Itu berarti bahwa kita secara sengaja menem-patkan diri di atas Allah. Dengan kata lain dengan tidak mengampuni kita telah mening-gikan diri di hadapan Allah dan jelas ini merusak relasi denganNya.
Selain itu pula seperti yang telah di-singgung sedikit di atas bahwa sebenarnya Tuhan menginginkan agar kita menjadi saluran pengampunan yang telah kita terima dari Allah, tetapi dengan tidak mengampuni maka kita telah salah memanfaatkan pengam-punan yang telah kita terima itu.
Relasi kita dengan sesama menjadi rusak
Selama kita tidak mau mengampuni orang lain, maka selama itu pula relasi kita dan sesama menjadi rusak. Ilustrasi Yesus menceritakan bahwa karena tidak mau mengampuni, maka hamba yang pertama itu mencekik temannya dan menje-bloskannya ke dalam penjara. Mungkin se-belum peristiwa itu mereka adalah sahabat karib, tetapi ketidakmauan untuk mengam-puni menyebabkan persahabatan mereka menjadi hancur.
Relasi kita dengan diri sendiri menjadi rusak
Akibat lain yang tidak kalah parahnya dari ketidakmauan untuk mengampuni adalah rusaknya relasi kita dengan diri sendiri. Ketika kita tidak mau mengampuni, maka kita sementara melakukan 2 hal yaitu :
a. Kita membatalkan pengampunan yang telah kita terima dari Tuhan
Hamba yang pertama tadi telah menerima pengampunan dan pembebasan dari raja, tetapi akhirnya pengampunan dan pembebasan itu dicabut kembali dan malah ia diserahkan kepada algojo-algojo (disiksa) karena ia tidak mau mengampuni temannya. Ini adalah suatu korelasi yang menarik antara mengampuni dan diampuni di mana di satu sisi kita harus mengampuni karena kita telah diampuni,tetapi di sisi yang lain kita harus mengampuni agar kita diam-puni/tidak kehilangan pengampunan. Itulah sebabnya dalam doa “Bapa kami” yang diajarkan Yesus berbunyi “dan ampunilah kami akan kesalahan kami seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami” (Mat
Beberapa tahun yang lalu di
b. Kita memelihara “penyakit” berbahaya di dalam diri kita.
Dengan tidak mengampuni orang lain, maka itu berarti kita menyimpan dendam, sakit hati, amarah dan kedengkian di dalam hati kita untuk orang tersebut. Ketika ada dendam, sakit hati, amarah dan kedengkian dalam hati kita, maka yang mengalami kerugian besar bukanlah orang yang ke-padanya kita menyimpan dendam, amarah dan kedengkian itu melainkan diri kita sendiri sebab dendam, amarah dan kedeng-kian itu laksana penyakit mematikan yang sulit dicari obatnya.
Beberapa tahun yang lalu seorang teman saya sempat melayani seorang yang sakit lumpuh sudah 4 tahun. Setelah dilayani secara pribadi ternyata ia se-mentara menyimpan dendam terhadap temannya kira-kira selama 6 tahun. Setelah dibereskan dari dendam dan didoakan maka saat itu juga ia sembuh dan dapat berjalan seperti biasanya. Ini adalah sebagian kecil dari penyakit fisik yang diakibatkan dari penyakit rohani yang berupa dendam, amarah dan kedengkian itu.
1 komentar:
EG, isinya khotbahnya bagus, membuat kita buruan mengampuni sesama agar dosa kita juga diampuni Tuhan.. btw ada kekeliruan pengetikan, kalo 1 dinar = Rp. 750, maka kalo 100 dinar = Rp. 75.000 bukan Rp. 7.500, nol nya kurang 1, diedit aja ya... Emang sih gak ngaruh terhadap intisari, maksud dan tujuan khotbah..
Posting Komentar