Selasa, 01 Januari 2008

DEKODENISASI "THE DA VINCI CODE" (Part 3)

Yakub Tri Handoko, Th. M




Kanonisasi, konsili dan kitab-kitab non-kanonik


Setelah membahas kitab-kitab non-kanonik yang berhubungan dengan Maria Magdalena, kita sekarang akan menyelidiki isu yang lebih luas, yaitu posisi kitab-kitab non-kanonik dalam gereja abad permulaan. Brown berpendapat bahwa sejarah berada di tangan yang memiliki kuasa (hlm. 356). Berdasarkan asumsi ini ia meyakini bahwa kanonisasi dan konsili mulai abad ke-4 hanyalah upaya gereja untuk menindas pihak minoritas. Gereja ingin menampilkan Yesus sebagai figur yang ilahi, karena itu berbagai ajaran yang berbeda dengan pandangan mayoritas (ortodoks) ini sengaja dikesampingkan, terutama pernikahan Yesus-Maria Magdalena dan penunjukkan Maria Magdalena sebagai pemimpin gereja, seperti tercatat dalam kitab-kitab non-kanonik.


Untuk menjawab pandangan DVC di atas, kita perlu memaparkan beberapa hal. Usaha kanonisasi pada abad ke-4 bukanlah usaha awal untuk menentukan kitab-kitab yang diterima gereja. Dari tulisan bapa-bapa gereja sebelum abad ke-4 terlihat bahwa kitab-kitab kanonik sebenarnya sudah diterima secara praktis di gereja dalam bentuk pemakaian kitab-kitab tersebut dalam pembacaan publik di ibadah. Pembacaan dalam ibadah ini berakar dari ibadah Yahudi di synagoge dan bait Allah (band. Luk 4:16-21; 1Tim 4:13). Secara khusus berkaitan dengan keempat kitab Injil, dokumen kuno sebelum abad ke-4 sudah mengakui otoritas kitab-kitab tersebut, misalnya Diatesseron. Jadi, penerimaan kitab-kitab kanonik sebagai firman Allah sudah dilakukan secara non-formal jauh sebelum gereja memegang dominasi pada masa pemerintahan Kaisar Konstantinopel. Kanonisasi hanyalah keputusan resmi (formal) dan menyeluruh dari gereja-gereja yang ortodoks.


Kebutuhan gereja untuk mengetahui dengan jelas kitab apa saja yang merupakan firman Allah tidak bisa dilepaskan dari situasi gereja pada abad ke-2 dan ke-3. Mereka berada di bawah penganiayaan yang hebat. Kepemilikan kitab suci bisa menjadi alasan yang kuat bagi pemerintah untuk menangkap orang Kristen. Di tengah situasi seperti ini mereka merasa perlu mengetahui kitab-kitab mana yang benar-benar firman Allah, karena pada saat itu kitab-kitab lain juga banyak bermunculan. Mereka ingin diyakinkan bahwa mereka membayar harga mahal untuk firman Allah, bukan untuk kitab-kitab lain yang tidak berotoritas. Selain itu, keberadaan berbagai bidat pada masa itu juga mendorong gereja untuk memiliki pedoman yang jelas yang benar-benar meneruskan ajaran para rasul.


Kita juga perlu memahami bahwa pertentangan dengan ajaran yang tidak sesuai dengan ortodoksi bukan dimulai pada abad ke-4. Pada masa gereja masih menjadi minoritas pada abad ke-2 dan ke-3, bapa-bapa gereja sudah menentang ajaran yang dianggap tidak ortodoks. The Muratorian Canon (abad ke-2) secara eksplisit menyatakan tulisan-tulisan Valentinus dan Marcion harus dibuang dari gereja. Irenaeus (abad ke-2) menulis kitab Against Heresies untuk menegaskan tradisi kekristenan dan sekaligus menentang para bidat.


Hal lain yang perlu kita pahami adalah kriteria kanonisasi. Bagaimana gereja di abad ke-2 dan ke-3 memilih kitab-kitab mana yang pantas dibaca di dalam ibadah? Bagaimana konsili menentukan kitab-kitab mana yang layak dianggap sebagai kanon (pedoman)? Jawaban terhadap pertanyaan ini ada tiga: (1) Kriteria tradisi. Suatu kitab diakui sebagai firman Allah yang berotoritas jika sejak jaman para rasul kitab itu memang sudah diterima oleh gereja mula-mula secara universal. Kriteria ini berhubungan dengan eksistensi para rasul dan gereja induk di Yerusalem sebagai alat kontrol (band. Kis 11 dan 15). Seandainya suatu kitab sejak jaman para rasul memang beredar secara luas dan dipakai dalam ibadah, maka itu berarti kitab tersebut mendapat “pengesahan” dari para rasul sebagai firman Allah. Dari kriteria ini terlihat bahwa kanonisasi justru berakar pada situasi abad pertama ketika orang Kristen masih menjadi minoritas dan dianiaya. Kriteria ini sekaligus juga menolak kitab-kitab non-kanonik yang baru ditulis mulai abad ke-2 dan ditolak oleh bapa-bapa gereja. (2) Kriteria wibawa apostolik. Allah menyatakan wahyu-Nya kepada hamba-hamba-Nya. Para rasul merupakan saksi mata dan penerus tradisi dari Yesus. Dua hal inilah yang turut melandasi kanonisasi. Suatu kitab diakui sebagai firman Allah kalau memang bersumber dari para rasul sebagai saksi mata dan penerima ajaran Yesus pertama kali. Berdasarkan kriteria ini, kitab-kitab non-kanonik dengan sendirinya tidak memenuhi syarat, karena mereka ditulis jauh setelah masa hidup para rasul. (3) Kriteria ortodoksi. Suatu kitab yang diakui dalam kanon tidak mungkin mengajarkan sesuatu yang bertentangan dengan wahyu Allah sebelumnya maupun kitab yang lain, karena Allah adalah sumber pengilhaman kitab suci. Alkitab tidak mungkin mengandung kontradiksi. Pandangan DVC bahwa kitab-kitab non-kanonik ditolak gereja karena bertentangan dengan ajaran ortodoks tidak bisa dipertahankan. Pandangan tersebut didasarkan pada asumsi bahwa gereja seharusnya menerima kitab lain yang bertentangan sekalipun.


Sekarang mari kita membahas klaim dalam DVC bahwa doktrin keilahian Yesus baru diciptakan gereja pada abad ke-4 (Konsili Nicea) untuk mengaburkan figur Yesus yang sebenarnya hanyalah manusia biasa yang menikah, mempunyai anak dan bisa mati. Pengakuan terhadap keilahian Yesus sebenarnya sudah muncul pada abad ke-1. Dalam bagian ini saya tidak akan memberikan ayat-ayat dari kitab Injil, karena hal itu bisa dianggap tendensius dan bersifat circular reasoning (kita sedang mendiskusikan validitas catatan tentang Yesus dalam kitab-kitab Injil, tetapi kita menggunakan kitab tersebut sebagai dasar argumen). Ada beberapa teks yang signifikan. Dalam Galatia 1:11-24 (yang ditulis sekitar tahun 50-an), Paulus membuktikan bahwa Injil yang ia beritakan berakar dari ajaran yang bersumber dari Yesus sendiri melalui para rasul maupun pertemuan pribadinya dengan Tuhan di Damaskus (Kis 9). Rujukan penting lainnya ada di Filipi 2:6-11. Paulus mengutip hymne gereja mula-mula yang menyinggung keilahian Yesus (ayat 6-8) dan mengaplikasikan Yesaya 45:23 untuk Yesus. Karena ayat paling awal tentang keilahian Yesus terdapat dalam Filipi 2:9-11, ketika ia mengutip sebuah hymne. Dari pemaparan ini terlihat bahwa doktrin keilahian Yesus bukanlah ciptaan gereja abad ke-4.


Asumsi DVC bahwa doktrin keilahian Yesus sengaja diciptakan untuk menghilangkan sisi kemanusiaan Yesus juga tidak bisa dipertanggungjawabkan. Kitab-kitab Injil mengajarkan kemanusiaan Yesus. Ia lahir dari seorang manusia, bertumbuh seperti anak-anak pada umumnya, merasakan lapar dan haus, bahkan mati. Seandainya Yesus memang menikah dan mempunyai anak, hal ini tidak akan membahayakan keilahian Yesus. Hal ini bahkan semakin memperkuat ajaran Alkitab tentang kemanusiaan Yesus.


Apakah Yesus menikah?


DVC mengajarkan bahwa Yesus menikah dengan Maria Magdalena. Dasar yang dipakai adalah kutipan dari Injil Filipus (hlm. 246-247) dan asumsi bahwa selibat bukanlah praktek yang bernuansa Yahudi (hlm. 245). Sebagai orang Yahudi, Yesus pasti menikah. Alasan pertama tidak akan dibahas dalam bagian ini, karena telah disinggung dalam bagian sebelumnya. Bagian ini hanya akan menanggapi alasan kedua yang dipakai DVC. Kita juga akan melihat beberapa teks yang berhubungan dengan kemungkinan apakah Yesus menikah atau tidak.


Sehubungan dengan asumsi Brown tentang keharusan orang Yahudi yang saleh untuk menikah, kita perlu mengetahui bahwa pada jaman Yesus ada sekelompok orang Yahudi yang saleh yang justru tidak menikah. Mereka dikenal sebagai masyarakat Qumran dan kaum Essenes. Naskah Laut Mati dan kitab sejarah Josephus menegaskan bahwa dua kelompok tersebut menganut gaya hidup selibat. Yesus sendiri mengakui keistimewaan gaya hidup ini dalam kaitan dengan fokus untuk kerajaan Allah (Mat 19:10-12).


Catatan Alkitab yang mengajarkan bahwa Maria Magdalena ikut bepergian bersama Yesus tidak bisa dijadikan alasan kuat untuk menganggap keduanya suami-istri. Lukas 8:1-3 memang mencatat Maria Magdalena bepergian bersama Yesus, tetapi kita tidak boleh lupa bahwa ayat itu juga mencatat nama-nama wanita lain, yaitu Susana dan Yohana. Kalau mau konsisten, kita juga harus mengakui bahwa Yesus menganut poligami. Seandainya Maria Magdalena adalah istri yang menyertai Yesus, bukankah Lukas pasti akan menghilangkan nama-nama wanita lain dalam Lukas 8:1-3?


Sama dengan ayat di atas, Alkitab biasanya menyebut Maria Magdalena dalam hubungan dengan wanita lain: ia dan wanita-wanita lain bepergian bersama Yesus (Luk 8:1-3), menyertai Yesus ke kayu salib (Mat 27:55-56//Mar 15:40-41; Yoh 19:25) dan tetap ada di sana (Mat 27:61). Satu-satunya ayat yang menyebut Maria Magdalena muncul sendirian dengan Yesus adalah Yohanes Yohanes 20:11-18. Tindakan Maria yang memeluk Yesus dalam teks ini memang tidak wajar dalam kultur Yahudi, namun hal ini bisa dipahami sebagai spontanitas Maria sebagai luapan keterkejutan dan kegembiraan bahwa Yesus masih hidup (ia sebelumnya tidak memiliki pikiran bahwa Yesus akan bangkit kembali).


Sekarang mari kita melihat beberapa teks yang menyiratkan bahwa Yesus tidak menikah dengan Maria Magdalena. Pertama, Maria Magdalena tidak pernah dikaitkan dengan nama seorang pria. Teks yang penting adalah Matius 27:55-56, Markus 15:40-41, Lukas 8:2 dan Yohanes 19:25. Nama-nama wanita dalam teks ini muncul dalam hubungan dengan suami atau anak mereka, tetapi khusus untuk Maria Magdalena ia diterangkan dengan asal usulnya, yaitu Magdala (Magdalena). Seandainya ia sudah menikah atau memiliki anak, ia pasti akan disebut seperti wanita-wanita lain dalam teks-teks tersebut.


Kedua, 1 Korintus 9:4-6. Dalam bagian ini Paulus memberikan argumen bahwa ia sebenarnya layak untuk mendapatkan bantuan dari jemaat untuk pelayanannya. Secara khusus ia mengatakan bahwa ia memiliki hak yang sama dengan Petrus dan para rasul lain yang membawa istri mereka. Seandainya Yesus memang menikah dengan Maria Magdalena dan mereka sering bepergian bersama, maka Paulus pasti akan menyebutkan hal itu sebagai dasar argumen yang lebih kuat untuk menegaskan pendapatnya.


Ketiga, Yohanes 19:26-27. Teks ini mencatat salah satu fase hidup yang penting, yaitu penyaliban-Nya. Di dekat salib, beberapa wanita mengikuti Yesus, termasuk ibunya, Maria. Seandainya Yesus sudah menikah, kita bertanya-tanya mengapa “istri” Yesus tidak hadir pada saat yang krusial ini. Alkitab juga mencatat bahwa Yesus memperhatikan ibu dengan cara menyerahkannya dalam pemeliharaan Yohanes. Seandainya Maria Magdalena adalah istri, bukankah Yesus seharusnya lebih memperhatikan dia atau, paling tidak, memperhatikan dia dan ibunya sekaligus?


Keempat, anggota keluarga Yesus disebut beberapa kali dalam Alkitab. Ayah, ibu dan saudara-saudara-Nya muncul beberapa kali (Mat 1:18-25; Mar 6:3; Yoh 7:3). Seandainya Yesus menikah dengan Maria Magdalena, Alkitab pasti akan menyebutkan istri-Nya itu, walaupun mungkin cuma sekali. Kenyataannya, semua keluarga Yesus disebut berkali-kali dalam Alkitab, tetapi “istri”-Nya tidak pernah disebut sekalipun. Dengan demikian, tudingan Dan Brown dan “The Da Vinci Code”-nya bahwa Yesus menikah hanyalah sebuah dongeng murahan yang tidak berdasar.

Tidak ada komentar: