Esra Alfred Soru
Dalam bagian pertama dan kedua dari seri tulisan ini sudah saya paparkan tanggapan-tanggapan atau reaksi terhadap sinetron ”Buku Harian Nayla” (BHN), baik yang bersifat positif maupun yang bernada kritikan terutama karena praktek plagiarisme BHN dari drama Jepang ”Ichi Rittoru no Namida” (IRnN) atau ”One Liter of Tears”. Satu hal yang perlu diketahui juga bahwa sebagian orang, meskipun mengetahui bahwa BHN adalah jiplakan dari IRnN namun itu tidak mengurangi minat mereka untuk menonton dan mengikuti setiap detail cerita dalam BHN. Perhatikan beberapa komentar di bawah ini yang ditulis secara terbuka di internet :
”Aku ngak pernah nonton tuh ”A Litre of Tears” jadi ngak pernah tahu. Tapi aku ngak peduli mau dijadikan replika atau ngak. Yang penting aku exciting nontonnya, memahami ceritanya sampai kayak aku saja yang terserang penyakit itu. Sampai nangis pula. Kayaknya di setiap sad even aku nangis dech. Apa aku yang lemah atau filmnya memang sedih. ..”,
”Buku Harian Nayla…aku tidak peduli kalau itu jiplakan or bukan. Intinya aku suka hikmah dan pesan yang ada di dalamnya...”
”Wah..wah...kasian juga BHN dicela melulu. Memangnya segitu ‘najis’??? Kalau mau marah, jangan marah sama pemerannya donk. Menurutku aktingnya bagus semua kok apalagi Chelsea (Nayla). Malah lebih bagus dari Sawajiri Erika (Aya). Kita lihat positifnya saja dari sinetron ini, walaupun menjiplak, tetap saja banyak orang yang bisa berubah, banyak yang bisa kita ambil dari sinetron ini. Kita mau mencaci maki juga gak ada gunanya kan?”
Kita doakan saja semoga sinetron Indonesia gak menjiplak lagi”, ”Yach…aku gak peduli nich film BHN mau ditiru dari Jepang kek, dari Inggris kek, yang pasti nich film bisa membuat kita sadar kalau kita tuh harus tetap semangat dan bersikap optimis. Yang pasti nih film bisa berguna bagi kita-kita...”.
Demikianlah beberapa komentar yang diberikan. Menurut saya kita tidak boleh tidak peduli kalau sinetron BHN adalah sebuah jiplakan namun demikian kita juga harus dapat menarik pelajaran dari sinetron BHN (atau IRnN) tersebut terutama pelajaran rohani bagi umat Kristen karena jalan ceritanya atau kisah hidup Aya Kitou di Jepang penting untuk di jadikan teladan hidup. (Catatan : Dalam cerita aslinya IRnN sama sekali tidak bernuansa Kristiani. Nuansa Kristiani ditambahkan oleh BHN dalam rangka menyambut Natal). Apa artinya kita menghabiskan banyak waktu, tenaga dan banyak mencucurkan air mata ketika menonton sinetron BHN tanpa dapat menarik hikmah di balik itu? Jelas isi cerita BHN (kalau tidak mau disebut IRnN) jauh lebih bermutu daripada sinetron/film lainya yang banyak ditayangkan oleh televisi kita seperti ”Wiro Sableng”, ”Jaka Tarub”, ”Jaka Tingkir”, ”Misteri Gunung Merapi” (Mak Lampir) apalagi film-film lepas di Indosiar yang ceritanya melulu setan-setan (heran, ’setan’ pun sekarang main film), dukun-dukun, manusia setengah binatang (buaya, ular, kalajengking, babi hutan, macan, dll), mayat bangkit dari kuburan, pak Kyai tangkap setan, peri dari khayangan, orang bisa terbang, dan cerita-cerita aneh lainnya. Meskipun ceritanya bermutu rendah seperti itu toh Ustad Jeffry Albuqori sering tampil dan memberikan hikmat di balik cerita-cerita itu. Jika demikian (lepas dari praktek plagiarismenya) mengapa kita tidak menarik hikmah di balik sinetron BHN? Karena itu di bagian terakhir tulisan ini saya akan mengangkat beberapa pelajaran rohani yang penting dari BHN sebagaimana yang saya yakini bahwa jalan cerita BHN sarat dengan nilai-nilai Kristiani.
Pelajaran tentang cinta
Pelajaran pertama yang dapat kita petik dari BHN (IRnN) adalah tentang cinta sejati. Pelajaran ini secara khusus terlihat dari apa yang dilakukan Moses di mana Moses, karena cintanya pada Nayla rela melakukan hal-hal yang tidak mau dilakukan oleh orang lain. Perhatiannya pada Nayla, kehadirannya di saat-saat mana Nayla sangat membutuhkannya dan juga kesediaannya untuk menikahi Nayla meski dia tahu bahwa hidup Nayla tidak akan panjang lagi dan dengan demikian ia dalam usia yang sangat muda akan menjadi seorang duda. Jika dipikir secara rasional, keuntungan apa sih yang dapat diperoleh Moses dalam hubungannya dengan Nayla? Tidak ada! Justru sebaliknya ia mendapatkan sejumlah kesulitan. Namun di sinilah kita dapat melihat makna cinta yang sesungguhnya. Cinta yang sejati tidak terletak pada apa yang kita peroleh melainkan apa yang kita berikan. Cinta sejati tidak berpikir ”apa yang saya dapatkan” melainkan ”apa yang dapat saya berikan”. Yang dipikirkan oleh cinta sejati hanyalah ”MEMBERI” bukan ”MENDAPAT”. Andaikata cinta harus didefinisikan dengan satu kata saja maka kata itu adalah ”MEMBERI”. Demikian juga kesaksian Alkitab bahwa karena cinta-Nya akan dunia ini maka Allah MEMBERIKAN Yesus bagi dunia ini sebagaimana kata Yoh 3:16 : ”Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal”. Jadi Allah mencintai dunia ini dan karena itu Ia melakukan sebuah pemberian. Itulah cinta sejati.
William Barclay pernah menceritakan sebuah kisah menarik tentang sepasang suami isteri, Jim dan Della. Ketika hari Natal tiba masing-masing dari antara mereka sibuk memikirkan apa yang dapat mereka berikan kepada pasangannya masing-masing. Della memiliki rambut yang sangat panjang dan indah dan karena itu secara diam-diam Jim berpikir untuk memberikan sebuah sisir perak yang cantik untuk menghiasi rambut panjang sang isteri. Sayangnya ia tidak punya cukup uang. Ia mempunyai sebuah jam tangannya yang terbuat dari emas yang sudah tidak memiliki ’talinya’. Ia berpikir daripada ia tidak bisa mengenakan jam emas itu pada tangannya karena tidak memiliki ’tali’nya sebaiknya itu dijual. Ia akhirnya menjual jam tangan emasnya dan uangnya dibelikan sisir perak untuk rambut sang isteri. Sementara itu Della pun sibuk memikirkan apa yang harus ia berikan pada sang suami? Ia teringat bahwa Jim mempunyai sebuah jam tangan dari emas tapi ’tali’nya sudah tidak ada. Della memutuskan untuk membelikan ’tali’ emas buat jam tangan suaminya. Namun ia juga tidak mempunyai cukup uang. Ia akhirnya pergi salon kecantikan dan menjual rambut panjangnya (dipotong) dan dari uang itu dibelilah ’tali’ emas buat jam tangan Jim. Sepanjang hari Natal itu mereka tidak bertemu hingga malamnya, masing-masing mempersiapkan hadiahnya dan ketika bertemu mereka terpaku. Sisir perak untuk rambut panjang Della tidak lagi berguna karena rambut Della telah dipotong dan ’tali’ emas untuk jam tangan Jim juga tidak berguna karena ’kepala’ jam itu telah dijual demi membeli sisir perak. Demikianlah cerita William Barclay. Ya, benar bahwa pemberian mereka tidak lagi berguna tetapi mereka telah menunjukkan makna cinta yang sebenarnya bahwa cinta sejati selalu berpikir untuk memberikan yang terbaik bagi yang dicintai meskipun harus mengorbankan banyak hal.
Moses juga dengan tulus mencintai Nayla MESKIPUN Nayla sakit parah dan akan meninggal. Ini juga pelajaran penting tentang cinta sejati. Cinta sejati hanya mengenal kata ”MESKIPUN” dan bukan ”JIKA”. Cinta sejati tidak pernah berkata ”Aku mencintaimu JIKA kamu.....”. Cinta sejati justru akan berkata ”Aku mencintaimu MESKIPUN kamu....” Aku mencintai kamu MESKIPUN kamu miskin. Aku mencintai kamu MESKIPUN kamu sakit. Aku mencintai kamu MESKIPUN kamu bodoh. Aku mencintai kamu MESKIPUN kamu jahat. Aku mencintai kamu meskipun kamu menjengkelkan. Aku mencintai kami MESKIPUN kamu begini dan begitu. Itulah cinta yang sejati. Richard Neighbur pernah berkata ”Aku mencintai kamu bukan karena kamu begini atau begitu tetapi karena kamu ada di sini”.
Pelajaran tentang doa
Ketika mengetahui bahwa Nayla menderita sakit yang parah maka ada begitu banyak doa/permohonan yang dinaikkan kepada Tuhan demi kesembuhannya, terutama doa kedua orang tua Nayla. Namun apakah yang terjadi? Nayla bukannya sembuh tetapi justru meninggal dunia. Doa mereka untuk kesembuhan ternyata tidak dikabulkan oleh Tuhan. Bukankah apa yang dialami Nayla dan orang-orang di sekitarnya juga sering dialami dalam hidup kita? Bukankah kita sering mengalami yang sebaliknya daripada yang kita doakan? Di manakah Tuhan saat doa-doa yang sungguh dinaikkan kepada-Nya? Di manakah Tuhan saat anak-anak-Nya berseru minta tolong? Tidakkah Ia mendengar jeritan anak-anak-Nya? Tidakkah Ia peduli dengar deraian air mata orang-orang yang dikasihi-Nya? Apakah Ia sudah tidak peduli lagi? Ataukah Ia tidak mampu menyembuhkan? Ataukah Ia sudah kehilangan kuasa-Nya?
Tidak! Allah bukannnya tidak peduli. Ia juga bukan telah kehilangan kuasa-Nya. Tetapi Ia tahu mana yang terbaik bagi anak-anak-Nya. Ini juga mengajarkan pada kita bahwa Allah bukanlah ’budak’ kita yang dapat kita perintah seenaknya dan harus menuruti segala yang kita mau. Ia adalah Allah yang berdaulat yang berhak penuh untuk mengabulkan permohonan kita ataupun tidak. Bahwa Ia tidak mengabulkan permohonan kita tidak selamanya karena kita kurang beriman tetapi semata-mata karena Ia tidak mau. Bandingkanlah apa yang dialami oleh rasul Paulus : ”... maka aku diberi suatu duri di dalam dagingku, yaitu seorang utusan Iblis untuk menggocoh aku, supaya aku jangan meninggikan diri. Tentang hal itu aku sudah tiga kali berseru kepada Tuhan, supaya utusan Iblis itu mundur dari padaku. Tetapi jawab Tuhan kepadaku: "Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna." Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku” (2 Kor 12:7-9). Mengapa doa Paulus tidak dikabulkan? Apakah Paulus kurang beriman? Tidak! Doa Paulus tidak dikabulkan bukan karena ia kurang beriman melainkan karena Allah mempunyai rencana yang lain dan bahwa Ia-lah yang berdaulat untuk mengabulkan permohonan Paulus atau tidak.
Jika demikian, satu hal yang perlu kita pahami bahwa doa bukanlah menyuruh/memaksa Allah mengikuti kehendak kita melainkan menyelaraskan kehendak kita dengan kehendak-Nya. Doa bukanlah meminta Allah mengikuti kemauan kita tetapi meminta kekuatan dari-Nya untuk dapat mengikuti kemauan-Nya. Doa tidak semata-mata meminta Ia mengangkat salib dari pundak kita tetapi meminta Ia memberikan kita pundak yang kuat untuk memikul salib kita. Yesus menjadi teladan dalam hal ini ketika di taman Getsemani sebagaimana kesaksian Matius : ”Maka Ia maju sedikit, lalu sujud dan berdoa, kata-Nya: "Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki." (Mat 26:39). Ya, doa yang benar, iman yang benar adalah doa dan iman yang bersandar pada kehendak Tuhan. Apa pun yang mau Ia buat terhadap kita, semuanya jadi sesuai kehendak-Nya sebagaimana yang dilantunkan Nikita dalam BHN : ”Jadilah padaku seperti yang Kau ingini”.
Pelajaran tentang mujizat
Pada saat menonton salah satu episode BHN ketika Nayla diketahui menderita sakit ataxia, beberapa orang mengatakan bahwa akan terjadi mujizat di mana Nayla akan disembuhkan secara ajaib oleh Tuhan. Saat itu saya belum menyadari bahwa BHN adalah jiplakan dari IRnN namun saya berkata alangkah indahnya sinetron ini jika berakhir dengan kematian Nayla. Demikian juga saat menonton episode terakhir banyak teman harap-harap cemas agar terjadi mujizat dan Nayla sembuh tapi saya dengan yakin mengatakan bahwa Nayla akan mati. Dan benar sekali, BHN berakhir dengan kematian Nayla. Seorang teman yang menonton bersama saya berkata : ”Sayang sekali Nayla tidak sembuh. Andaikata Nayla sembuh maka itu menjadi kesaksian bagi banyak orang bahwa Tuhannya orang Kristen itu hidup”. Lalu saya berkomentar : ”Jadi kalau Nayla tidak sembuh maka Tuhannya orang Kristen mati? Dari sini nampak bahwa masih ada orang dan saya kira ada banyak orang yang tidak memahami Allah dengan benar. Mereka berpikir bahwa Allah itu baru ’hidup’ kalau Ia melakukan mujizat dan Ia akan menjadi Allah yang ’mati’ kalau Ia tidak melakukan mujizat. Komentar saya lanjutan adalah ”Andaikata Nayla sembuh (tidak jadi mati) maka itu memang mujizat tetapi adalah mujizat yang lebih besar daripada sekedar kesembuhan fisik jika Nayla mati dalam iman, dalam pengharapan, tanpa ketakutan dan dengan keyakinan bahwa Allah sangat mengasihi dia”. Ya! Bagi saya itulah mujizat yang lebih besar daripada sekedar kesembuhan dari penyakit. Tapi tidakkah banyak orang akan menjadi percaya dan dikuatkan imannya jika Nayla sembuh? Mungkin saja tetapi Alkitab juga menyaksikan bahwa iman yang sejati tidak lahir dari melihat/mengalami mujizat. Tidak ada bangsa di dunia ini yang lebih banyak melihat mujizat seperti bangsa Israel tetapi Alkitab mencatat bahwa bangsa Israel juga adalah bangsa yang tegar tengkuk dan melawan Tuhan. Demikian juga dalam cerita orang kaya dan Lazarus (Luk 16:19-31). Ketika orang kaya itu meminta Abraham untuk mengirimkan Lazarus kepada saudara-saudaranya yang masih hidup dengan keyakinan bahwa mereka akan percaya/beriman kalau ada orang mati yang bangkit, Abraham justru menolaknya dan berkata : ”Jika mereka tidak mendengarkan kesaksian Musa dan para nabi, mereka tidak juga akan mau diyakinkan, sekalipun oleh seorang yang bangkit dari antara orang mati." (ay.31). Dengan kata lain Abraham mau berkata bahwa mujizat terbesar sekalipun (kebangkitan orang mati) tidak akan melahirkan iman yang sejati. Justru sebaliknya kita melihat iman sejati dapat tumbuh ketika tidak ada mujizat. Trio Ibrani (Zadrak, Mesak dan Abednego) ketika hendak dimasukkan ke dalam dapur api berkata : ”Jika Allah kami yang kami puja sanggup melepaskan kami, maka Ia akan melepaskan kami dari perapian yang menyala-nyala itu, dan dari dalam tanganmu, ya raja; tetapi seandainya tidak, hendaklah tuanku mengetahui, ya raja, bahwa kami tidak akan memuja dewa tuanku, dan tidak akan menyembah patung emas yang tuanku dirikan itu." (Dan 3:17-18). Menarik, mereka berani menyatakan iman kesetiaan mereka pada Allah Yahweh sekalipun Yahweh tidak menyelamatkan mereka (tidak terjadi mujizat). Di atas salib golgota seorang penjahat menjadi percaya pada Yesus dan jaminan Yesus ”Hari ini engkau bersama-sama dengan Aku di taman Firdaus” membuat dialah orang pertama yang dibasuh dengan darah Yesus. Ia percaya pada Yesus. Tetapi mujizat apakah yang ia lihat? Sama sekali tidak ada mujizat. Yang ia lihat hanyalah Kristus yang tergantung, yang ditinggalkan oleh Allah dan manusia. Kembali ke BHN, justru kita melihat bahwa setelah Nayla mati justru ada kesaksian dari orang-orang yang telah membaca buku harian Nayla. Mereka dikuatkan, dihibur, diberi semangat baru dalam menghadapi hidup ini. Bukankah ini juga sebuah mujizat? Munculnya hidup yang baru, hati yang remuk disembuhkan, kecewa dan putus asa menjadi sirna, munculnya harapan baru, hadirnya semangat hidup adalah mujizat yang jauh lebih besar dari melihatnya seorang buta, berjalannya seorang lumpuh, mendengarnya seorang tuli, bicaranya seorang bisu bahkan bangkitnya seorang mati.
Pelajaran tentang hidup
Pelajaran terakhir yang dapat kita terima dari kisah BHN adalah pelajaran tentang hidup. BHN memberitakan kepada kita bahwa makna hidup yang sesungguhnya tidak terletak pada BERAPA LAMA KITA HIDUP tetapi APA YANG KITA BUAT DALAM HIDUP. Usia Nayla dalam hidup ini begitu singkat, begitu pendek Jika mengacu pada kisah aslinya maka Aya Kitou pun tidak diijinjkan oleh Sang Pencipta hidup ini untuk menatap mentari lebih lama. Ia tidak diijinkan untuk dapat lagi melihat gemerlapnya bintang langit dan merdunya kicauan burung di pagi hari. Ia tidak diijinkan untuk dapat lagi tersenyum pada orang-orang yang dicintainya. Ia hanya diijinkan untuk menarik nafas selama 25 tahun itu pun ia lakukan dalam penderitaan selama 10 tahun terakhirnya. Meskipun demikian Aya Kitou (IRnN) atau Nayla (BHN) telah melakukan sesuatu yang sangat berharga bagi orang-orang yang ia tingglkan. Buku hariannya. Buku harian yang telah memberi inspirasi bagi banyak orang, buku harian yang telah membangkitkan semangat hidup, optimisme dan jiwa besar, buku harian yang membuka mata untuk melihat hidup dengan cara yang berbeda. Buku harian yang mengajarkan bahwa hidup ini lebih dari sekedar tarikan-tarikan nafas.
Ya, makna hidup yang sesungguhnya tidak terletak pada berapa lama kita hidup melainkian pada apa yang kita buat dalam hidup ini. Untuk apa bangga dengan umur 100 tahun jika yang bisa kita hadirkan dalam dunia ini hanyalah kekacauan, kehancuran dan keonaran? Untuk apa bangga dengan umur 100 tahun jika kita tidak pernah menghasilkan nilai-nilai hidup yang dapat diwariskan pada generasi selanjutnya. Hidup Nayla begitu singkat tapi ia telah memberikan nilai-nilai yang sangat berharga bagi orang-orang di sekitarnya bahkan orang-orang yang tidak pernah ia kenali. Firman Tuhan menasihati kita : ”Karena itu, perhatikanlah dengan saksama, bagaimana kamu hidup, janganlah seperti orang bebal, tetapi seperti orang arif, dan pergunakanlah waktu yang ada, karena hari-hari ini adalah jahat. Sebab itu janganlah kamu bodoh, tetapi usahakanlah supaya kamu mengerti kehendak Tuhan. Dan janganlah kamu mabuk oleh anggur, karena anggur menimbulkan hawa nafsu, tetapi hendaklah kamu penuh dengan Roh, dan berkata-katalah seorang kepada yang lain dalam mazmur, kidung puji-pujian dan nyanyian rohani. Bernyanyi dan bersoraklah bagi Tuhan dengan segenap hati. Ucaplah syukur senantiasa atas segala sesuatu dalam nama Tuhan kita Yesus Kristus kepada Allah dan Bapa kita dan rendahkanlah dirimu seorang kepada yang lain di dalam takut akan Kristus” (Efs 5:15-21). Nayla (atau lebih tepatnya Aya Kitou) sudah kembali kepada penciptanya namun keteguhannya, kegigihannya, semangat hidupnya, tetap hidup dalam sanubari setiap orang yang pernah mengenalnya. Terima kasih Nayla, terima kasih Aya Kitou.
1 komentar:
Setuju.. untuk pelajaran tentang cinta sejati dari "Buku Harian Nayla"
Cinta sejati gak selalu memiliki, cinta sejati tetap ada sampai kapanpun.. Tapi cinta sejati harus dikenang dengan senyuman diiringi doa, bukan dengan airmata kesedihan dan penyesalan...
Posting Komentar