Esra Alfred Soru
Setelah mengetahui sejarah lahirnya doktrin Tritunggal dan kontroversi yang terjadi di sekitar perumusannya, maka pada bagian ini akan dipaparkan suatu dasar teologis-alkitabiah yang menjadi landasan doktrin ini.
1. Perjanjian Lama
Karena kebenaran Tritunggal adalah wahyu Allah, dan wahyu Allah itu bersifat progresif, maka haruslah disadari bahwa Perjanjian Lama tidak memberikan bukti-bukti secara eksplisit tentang ketritunggalan Allah, melainkan hanya memberikan indikasi-indikasi ke arah kenyataan ini. Berkhof berkata : “Alkitab tak pernah berhubungan dengan doktrin Tritunggal sebagai suatu kebenaran yang abstrak, akan tetapi Alkitab mengungkapkan kehidupan Tritunggal dalam berbagai hubungan sebagai suatu kenyataan yang hidup....” (Louis Berkhof, 1993: 148). Oleh sebab itu maka konsep yang akan dipaparkan di dalamnya tentu hanya bersifat indikatif saja.
Satu ayat yang mengindikasikan adanya semacam kejamakan dalam diri Allah adalah Kej 1:26 : “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita” dan ayat-ayat lainnya seperti Kejadian 3:22; 11:7; Yesaya 6:8, dan lain-lain. Harus diakui bahwa sebenarnya bentuk jamak (plural) dalam ayat ini tidak secara langsung menunjuk kepada Allah Tritunggal, sebab dalam corak Perjanjian Lama penggunaan bentuk jamak adalah untuk menggambarkan atau merupakan suatu jamak kehormatan “plural maiestaticus” (Walter Lempp: Tafsiran Kejadian; 1974: 36). Sekalipun demikian tak dapat disangkal bahwa ayat-ayat itu mengandung petunjuk tentang adanya perbedaan pribadi dalam diri Allah dan juga menunjuk kepada keadaan jamak dari pribadi-pribadi itu. (Louis Berkhof, Op.cit: 149).
Mungkin hal menarik yang dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam memikirkan kebenaran Tritunggal adalah bahwa ada pribadi lain yang sangat jelas dibedakan dari Allah (Bapa). Contoh dalam Alkitab yang memaparkan kebenaran ini adalah Kejadian 1:1-2 : “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi…dan Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air”.
Selain itu Alkitab juga mencatat adanya pribadi lain di samping Allah yang esa dan memiliki kualitas yang sama dengan Allah dalam segala hal, tetapi sekali lagi semuanya ini masih bersifat indikasi-indikasi ke arah doktrin Tritunggal.
a.
Yang dimaksud di sini adalah bahwa dalam Alkitab dibedakan juga tentang Tuhan yang dibedakan dari Tuhan (Allah) (Thiessen; 1992, hal. 140). Contohnya seperti yang terdapat dalam beberapa ayat di bawah ini :
“Kemudian TUHAN menurunkan hujan belerang dan api atas Sodom dan Gomora, berasal dari Tuhan, dari langit.” (Kejadian 19:24)
“Tetapi Aku akan menyayangi kaum Yehuda dan menyelamatkan mereka demi TUHAN, Allah mereka.” (Hosea 1:7)
“Lalu berkatalah malaikat TUHAN kepada iblis itu: ‘TUHAN kiranya menghardik engkau, hai iblis!’” (Zakharia 3:2)
Jadi ayat-ayat di atas sungguh menunjukkan perbedaan yang jelas antara Tuhan (Allah) dengan Tuhan.
b.
Selain mengungkapkan suatu perbedaan antara TUHAN dan TUHAN (Allah) secara umum, Alkitab juga memberi penyataan tentang pribadi kedua dari Allah Tritunggal. Di dalam Perjanjian Lama sering digunakan istilah atau sebutan “Malaikat Tuhan” yang sering menampakkan diri kepada orang-orang tertentu seperti pada Hagar (Kejadian 16:7-14), Abraham (Kejadian 22:11-18), Yakub (Kejadian 31:11-13), Musa (Keluaran 3:2-5), Israel (Keluaran 14:19), Bileam (Bilangan 22:22-35), Gideon (Hakim-Hakim 6:11-23), Manoah (Hakim-hakim 13:2-25), Elia (I Raja-raja 19:5-7), dan Daud (I Tawarikh 21:15-17). Menurut R. Soedarmo istilah atau sebutan “Malaikat Tuhan” ini tidaklah menunjuk kepada malaikat biasa (R. Soedarmo; 1985: 94-95) karena: (1) Ia berfirman atas nama-Nya sendiri (Kejadian 16:10), (2) Ia mau disembah oleh orang (Yosua 5, Hakim-hakim 2) padahal malaikat biasa tidak boleh dan tidak mau disembah (Wahyu 19:10 ; 22:9), (3) Ia juga disebut Allah (Kejadian 16:13) tetapi merupakan petunjuk khusus kepada pribadi kedua dari Allah Tritunggal pada masa pra inkarnasi. Penampilan-Nya dalam Perjanjian Lama ini merupakan pertanda dari kedatangan-Nya sebagai manusia di kemudian hari. (Thiessen, Op.cit:140)
c.
Dalam Perjanjian Lama, pribadi ketiga dari Allah Tritunggal yaitu Roh Kudus pun dinyatakan dan dibedakan dari Allah (Bapa).
“Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi…dan Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air.” (Kejadian 1:1-2)
“Berfirmanlah Tuhan kepada Musa…dan telah Kupenuhi dia dengan Roh Allah.” (Keluaran 31:1-3)
Itulah beberapa indikasi yang mengarah kepada konsep Tritunggal yang nampak dalam Perjanjian Lama.
2. Perjanjian Baru
Kalau dalam Perjanjian Lama konsep Tritunggal tidak terlalu jelas dan hanya bersifat indikatif saja, maka dalam Perjanjian Baru, kebe
a.
Ayat-ayat di bawah ini memperlihatkan bahwa Bapa, Anak dan Roh Kudus disebutkan secara bersama-sama.
“Yesus segera keluar dari air dan pada waktu itu juga langit terbuka dan Ia melihat Roh Allah seperti burung merpati turun ke atas-Nya, lalu terdengarlah suara dari sorga yang mengatakan : “Inilah Anak yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku (Bapa) berkenan.” (Matius 3:16-17)
“Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus.” (Matius 28:19)
“Kasih karunia Tuhan Yesus Kristus, dan kasih Allah, dan persekutuan Roh Kudus menyertai kamu sekalian.” (2 Korintus 13:13)
Bandingkan juga dengan ayat-ayat lain seperti 1 Korintus 12:4-6; Efesus1:13-14; 1 Petrus 1:2;
b.
Setelah melihat ayat-ayat di atas, maka pertanyaan penting yang harus dipikirkan adalah “Siapakah Anak (Yesus Kristus) dan Roh Kudus ini sehingga Nama “Mereka” layak disejajarkan dengan Nama Allah (Bapa)?” Tentang Allah Bapa, tentunya tidak ada masalah lagi yang berkaitan dengan keilahian-Nya, sebab baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru dengan sangat jelas berbicara tentang Ia sebagai Allah, dan juga bahwa dalam kerangka doktrin Tritunggal, pribadi Bapa sangat jarang dipersoalkan. Tetapi bagaimana dengan Anak dan Roh Kudus? Kedua oknum ini sungguh-sungguh menjadi persoalan dan titik pusat perdebatan (terutama Sang Anak). Siapakah Mereka? Apa hubungan Mereka dengan Allah (Bapa)? Untuk lebih jelasnya, betapa perlu melihat kedua pribadi ini (Anak dan Roh Kudus) satu per satu secara khusus tentang keilahian Mereka:
Anak (Yesus Kristus)
Iman Kristen yang ortodoks berdiri dengan kokoh di atas dasar keilahian Kristus. Jikalau Yesus Kristus ternyata bukan Allah, maka runtuhlah fondasi iman Kristen. Itulah sebabnya betapa penting untuk memahami pribadi Kristus dengan benar.
Di Kaisarea Filipi Yesus pernah mengajukan suatu pertanyaan tantangan, “Kata orang banyak siapakah Aku ini?” (Lukas 9:18-21). Lalu murid-murid pun menjawab sesuai dengan pendapat orang banyak bahwa ada yang mengatakan Yohanes Pembaptis, ada juga yang mengatakan Elia, Yeremia atau seorang dari para nabi. Tetapi setelah itu Yesus melanjutkan pertanyaan-Nya yang sangat bersifat pribadi, “Menurut kamu siapakah Aku ini?” Lalu Petrus menjawab, “Engkau adalah Mesias Anak Allah yang hidup.” Menanggapi jawaban Petrus, Yesus berkata “…engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya.” Kata “di atas batu karang ini” sebenarnya tidak menunjuk kepada Petrus secara pribadi melainkan kepada pengakuannya itu. Jadi dengan kata lain gereja berdiri atas dasar pengakuan terhadap keilahian Kristus. ”Apakah pendapatmu tentang Kristus?” merupakan pertanyaan utama dalam kehidupan setia orang Kristen. (Thiessen, Op.cit: 142). Atas kebenaran inilah maka betapa pentingnya memikirkan keilahian Kristus.
Secara ringkas iman Kristen mengakui keilahian Kristus karena beberapa hal :
Ia memiliki nama ilahi : di mana Ia disebut Allah (Ibrani 1:8), Ia disebut Anak Allah (Matius
Ia memiliki sifat-sifat ilahi : Ia kekal (Yohanes 1:15; 8:58; 17:5, 24; Kolose 1:15, dll), Ia maha hadir (Matius 18:20; 28:20, dll), Ia maha tahu (Yohanes 2:24-25; 16:30; 21:17; Lukas 6:8; 11:17, dll), Ia maha kuasa : aas penyakit (Lukas 4:39), aas setan (Lukas 4:34-35), aas segala yang hidup (Yohanes 17:2), aas alam semesta ((Matius 8:26), aas kematian (Lukas 7:12-17), Ia suci (Ibrani 7:26-28), Ia tidak berubah (Ibrani 13:8; 1:12)
Ia melakukan tindakan-tindakan ilahi & tidak menolak diperlakukan sebagai yang ilahi : Ia mencipta (Yohanes 1:3; Kolose 1:16; Ibrani 1:10), Ia menopang segala sesuatu (Kolose 1:17), Ia mengampuni dosa (Matius 9:2, 6; Lukas 7:47-48), Ia membangkitkan orang mati (Lukas 7 :11-17), Ia menghukum manusia (2 Timotius 4 :1 ; Yohanes 5 :22-23), Ia memberi hidup yang kekal (Yohanes 10:28; 17:2), Ia menerima penyembahan dari manusia (Matius 14:33; Lukas 24:52; Ibrani 1:6; Yohanes 20:28; Wahyu 5:8).
Roh Kudus
Sama seperti Kristus, Roh Kudus juga adalah oknum ilahi yang berada di samping dan bersama-sama dengan Allah. Tetapi sebelum melihat bukti-bukti alkitabiah tentang keilahian Roh Kudus, haruslah diingat bahwa doktrin Roh Kudus juga mendapat tantangan yang sangat berat. Roh kudus tidak diakui sebagai suatu pribadi, seperti pandangan Schleirmacher yang melihat Roh Kudus hanya sebagai suatu gerakan dan inspirasi yang bersifat agama saja. (Stephen Tong; 1195:2). Oleh sebab itu, sangatlah penting melihat dan meneliti apa kata Alkitab tentang hal ini. Sebab, sama seperti apa yang dikatakan oleh Loraine Boettner bahwa setelah kepribadian Roh Kudus didirikan, hanya sedikit orang yang menyangkal keilahian-Nya.
Alkitab juga jelas memberikan bukti-bukti tentang kepribadian Roh Kudus antara lain:
Bukti melalui keberadaan-Nya : Ia memiliki pikiran (Roma
Bukti melalui karya-karya-Nya : Ia mengajar (Yohanes
Bukti melalui pengakuan yang dikenakan kepada-Nya : Ia bisa ditipu (Kisah
Dengan demikian Roh Kudus adalah suatu pribadi, namun bukan hanya pribadi saja tetapi pribadi ilahi. Keilahian-Nya ini dapat dilihat dari kenyataan-kenyataan bahwa:
Ia memiliki nama-nama ilahi : Ia disebut Allah (1 Korintus
Ia disetarakan dengan Bapa dan Anak : (Matius 28:19; 2 Korintus
Ia memiliki sifat-sifat ilahi : Ia maha tahu (Yohanes 14:26; 16:13; 1 Korintus 2:10-11), Ia maha kuasa (Lukas 1:35; Kisah Para Rasul 1:2), Ia maha hadir (Mazmur 139 :7-10), Ia memberi hidup (Roma 8:2), Ia kekal (Ibrani 9:14).
Ia melakukan tindakan-tindakan ilahi : Ia turut terlibat dalam karya penciptaan (Kejadian 1:2), Ia mengilhamkan Firman Allah (2 Petrus 1 :21), Ia berkarya dalam proses inkarnasi (Lukas 1:35), Ia meyakinkan orang percaya (Yohanes 16:8), Ia melahirbarukan manusia (Yohanes 3:5-6), Ia memberi penghiburan (Yohanes 14:26), Ia menyucikan /menguduskan (2 Tesalonika 2:13).
Fakta-fakta di atas (tentang Anak dan Roh Kudus) telah membuktikan bahwa Anak dan Roh Kudus memiliki kualitas ilahi yang sama dengan Bapa. Dengan demikian dapat dilihat bahwa ada tiga pribadi ilahi yang hidup berdampingan dari kekal hingga kekal, yakni Bapa, Anak dan Roh Kudus. Inilah Tritunggal.
Hal berikut yang tak boleh dilalaikan adalah tentang masalah keesaan dari ketiga pribadi ilahi itu. Memang ada tiga pribadi ilahi, tetapi doktrin tritunggal tidak berhenti sampai di situ. Doktrin tritunggal menyatakan bahwa ketiga-Nya itu esa. Jika pembahasan tentang konsep Allah hanya berhenti sampai pada adanya tiga pribadi ilahi, maka hal ini sama dengan berkata bahwa ada tiga Allah. Itu berarti konsepsi tersebut telah jatuh ke dalam salah satu ekstrim, yaitu politeisme. Untuk itu maka sangatlah perlu menyoroti aspek keesaan ini secara khusus.
Allah itu “Tritunggal”. Dari pembahasan sebelumnya telah jelas bahwa “tri-Nya” terletak pada adanya tiga pribadi ilahi, atau seperti konsep Boettner bahwa ada tiga pusat pengetahuan, kesadaran, kasih dan kehendak yang terpisah satu dari yang lain, sedangkan “tunggal-Nya” (keesaan-Nya) terletak pada esensi-Nya. Secara singkat, pengertian esensi secara umum adalah hakikat barang sesuatu (Louis O. Kattsoff: Pengantar Filsafat; 1986: 51). Maksudnya adalah bahwa esensi itu merupakan sesuatu yang menjadikan sesuatu itu seperti dirinya sesuatu itu. Contohnya sebuah segi tiga merupakan sebuah segi tiga.
Jika pengertian ini dikaitkan dengan konteks teologis, dapatlah dikatakan bahwa esensi itu hakikat dasar atau “unsur pembentuk” keallahan, atau mungkin lebih dapat dikatakan sebagai “inti dasar” keallahan. Selanjutnya sesuai dengan konsepsi Tritunggal yang mengatakan bahwa letak keesaan pribadi-pribadi Allah Tritunggal adalah pada esensi-Nya, maka esensi di sini mempunyai pengertian sebagai apa yang sama (“unsur pembentuk” atau “inti dasar”) di antara Mereka bertiga (pribadi-pribadi Allah Tritunggal) di dalam keallahan (Boettner, Op,cit: 106). Maksudnya adalah bahwa : ‘Setiap pribadi itu memiliki “in toto” esensi yang tak terbagi atau terpisahkan dari ilahi di mana sifat dan kuasa ada di dalamnya, maka setiap pribadi memiliki pengetahuan ilahi, hikmat, kuasa, kesucian, keadilan, kebaikan dan kebenaran yang sama. Mereka bekerja sama dalam suatu harmonisasi yang sempurna dan bersatu, sehingga kita boleh mengatakan bahwa Allah Tritunggal bekerja dengan satu pikiran dan satu kehendak’.
Karena ketiga pribadi dari Tritunggal ini memiliki esensi yang sama, dan karena sifat-sifat yang ada tak dapat dipisahkan dari esensi, maka berarti bahwa semua sifat ilahi dimiliki bersama oleh masing-masing pribadi, dan bahwa ketiga pribadi memiliki tingkatan yang sama dan sama-sama kekal. Setiap pribadi adalah Allah, memakai kuasa yang sama, mengambil bagian di dalam kemuliaan yang sama dan sama-sama berhak disembah. Dengan demikian maka doktrin Tritunggal tidak dapat membawa kepada “Triteisme”, karena meskipun ada tiga pribadi di dalam keallahan, tetapi hanya ada satu esensi. Dengan demikian maka hanya ada satu Allah. Satu esensi hidup yang berada dalam tiga pribadi. Ketiga pribadi yang dihubungkan dengan esensi ilahi bukan sebagai 3 individu seperti Abraham, Ishak dan Yakub kepada sifat manusia. Mereka hanya satu Allah, buka triad tetapi trinitas.
Beberapa ayat Alkitab yang membuktikan kesamaan esensi di antara pribadi-pribadi Allah Tritunggal antara lain:
“Sebab dalam Dialah berdiam secara jasmaniah seluruh kepenuhan ke-Allahan” (Kolose 2:9)
“Aku dan Bapa adalah satu”. (Yohanes 10 :30)
"Percayalah kepada-Ku, bahwa Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku...” (Yohanes 14 :11)
“Sebab Allah mendamaikan dunia dengan diri-Nya oleh Kristus…” (2 Korintus 5:19)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar