Setiap orang yang pernah belajar doktrin Tritunggal pasti setuju bahwa doktrin tersebut adalah doktrin yang sangat sulit dipahami atau dimengerti. Boettner mengatakan bahwa ketika kita memandang Allah Tritunggal, kita merasa seperti orang yang memandang langsung matahari pada tengah hari (Loraine Boettner, Studies in Theology; 1960: 124). Sedangkan A.W. Tozer mengatakan bahwa : “Untuk merenungkan ketiga pribadi Allah itu berarti di dalam pikiran kita melangkah ke arah timur melalui
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, maka betapa pentingnya melihat hal-hal yang menjadi kesulitan dalam mempelajari doktrin Tritunggal.
1. Kesulitan Teologis
Teologia Kristen mempunyai pandangan yang unik tentang Allah (God is the Whole Other). Di dalam Alkitab, Allah dinyatakan dengan begitu jelas yang meliputi diri atau esensi Allah, keberadaan Allah, sifat-sifat atau karakter Allah, atribusi Allah, dan karya-karya-Nya. Secara khusus tentang diri atau esensi Allah yang dikaitkan dengan sifat-sifat-Nya maka akan ditemukan dua konsep di dalamnya yaitu:
(1) Allah itu esa
(2)
Dua kenyataan in mengharuskan para teolog untuk menyusun dasar-dasar teologia yang seimbang dan tidak menekankan atau mengutamakan salah satu aspek saja (lihat bagian tentang Arti Tritunggal). Tetapi bagaimanakah hal itu dapat dilakukan? Inilah kesulitan teologis dalam mempelajari dan merumuskan doktrin Tritunggal dengan benar (Penjelasan lengkap tentang masalah ini dapat dilihat dalam bagian “Dasar alkitabiah doktrin Tritunggal”).
2. Kesulitan Filosofis
Bukan hanya kesulitan teologis yang dihadapi dalam mempelajari doktrin Tritunggal, tetapi juga kesulitan filosofis. Thiessen mengatakan bahwa ajaran tentang Tritunggal Allah adalah suatu rahasia yang besar sekali. Seakan-akan ajaran in merupakan teka-teki intelektual yang sulit dipecahkan atau bahkan merupakan suatu kontradiksi (Thiessen; 1992: 139). Rasio tak mampu memecahkan misteri ini. ”Bagaimana mungkin sesuatu itu tiga sekaligus satu atau satu sekaligus tiga?” Pemikir-pemikir Islam sering terjebak dalam kesulitan in akhirnya menuduh agama Kristen sebagai agama yang mempunyai konsep Allah (monoteisme) yang tak masuk akan (kontra rasional). Mereka sering memakai analogi matematika untuk maksud itu, yaitu 1+1+1 = 1 (Andar Tobing; 1972: 9-10). Memang inilah kesulitan filosofis dalam mempelajari doktrin Tritunggal.
3. Kesulitan Empiris.
Kesulitan empiris yang dimaksud di sini adalah sebuah kesulitan yang dihubungkan dengan kenyataan bahwa Allah itu “
Kenyataan ini mengakibatkan kesulitan dalam memahami Allah, sebab tidak ada sesuatu apapun yang dapat dipakai sebagai analogi untuk mendekati-Nya. Kesulitan inilah yang menjadi dasar kelemahan semua analogi tentang doktrin Tritunggal. Itulah kesulitan-kesulitan dalam mempelajari dan memahami doktrin ini. Setelah melihat kesulitan-kesulitan di atas, maka sekarang penting juga untuk melihat alasan-alasan yang menyebabkan doktrin Tritunggal ini sulit dipahami, atau dengan kata lain, “Mengapa doktrin ini sulit dimengerti?” Sekurang-kurangnya ada tiga alasan untuk menjawab pertanyaan itu, yaitu :
1. Alasan Teologis
Di dalam alasan teologis ini, terdapat tiga fakta yang menyebabkan kebenaran Tritunggal sulit dimengerti atau dipahami (Stephen Tong; Allah Tritunggal; 1990: 13-18). Ketiga fakta ini antara lain :
a. Kebenaran Tritunggal ini adalah kebenaran yang bersifat dan berdasarkan wahyu Allah
Yang dimaksud dengan kebenaran yang bersifat dan berdasarkan wahyu Allah di sini adalah bahwa kebenaran Tritunggal bukanlah hasil spekulasi manusia, tetapi merupakan anugerah dari Allah yang tidak bisa kita mengerti, juga tidak bisa kita bantah (tolak), hanya bisa kita terima.
Dalam kerangka berpikir tentang wahyu (pernyataan dari Allah) ini, kita mengenal adanya wahyu bertingkat (Progressive Revelation) yaitu wahyu yang mengalami kemajuan dari yang sangat tidak jelas, menjadi tidak jelas, kemudian menjadi kurang jelas, dan akhirnya menjadi jelas bahkan sangat jelas. Wahyu progresif ini dibagi dalam dua jenis wahyu, yaitu wahyu Allah secara umum (General Revelation of God), dan wahyu Allah secara khusus (Special Revelation of God). Wahyu Allah secara umum dinyatakan melalui peristiwa penciptaan dunia ini, dan wahyu Allah secara khusus dinyatakan melalui pribadi kedua dari Allah Tritunggal (Yesus Kristus) pada saat inkarnasi-Nya. Dalam konteks ini, kebenaran Tritunggal adalah kebenaran yang bersifat atau berdasarkan wahyu Allah secara khusus (Special Revelation of God). Dengan demikian jika kebenaran yang bersifat wahyu ini tidak diterima dengan iman, maka ini pasti akan menimbulkan kesulitan di dalam memahami-Nya. Ds. S.C. Hofland menulis : “Jangan sekali-kali kita berspekulasi mengenai Allah. Jangan sekali-kali mengemukakan pertanyaan yang nadanya untuk mencari tahu, bagaimana gerangan keberadaan Allah itu sebenarnya, di balik pernyataan-Nya kepada manusia. Manusia hanya dapat berbicara mengenai Allah dalam keterkaitannya dengan Allah sendiri, yaitu dalam suatu hubungan yang bersifat sangat ‘relasional’. (Ds. A.C. Hofland; dkk: Allah Beserta Kita; 1991:23).
b. Kebenaran Tritunggal adalah kebenaran yang berasal dari Sang Pencipta
Berbicara tentang Tritunggal adalah berbicara tentang Allah sebagai Sang Pencipta. Manusia berusaha untuk memahami Allah Tritunggal. Siapakah manusia yang mau memahami-Nya? Manusia adalah makhluk (ciptaan), dan Tritunggal adalah Allah (pencipta). Jadi yang ingin mengetahui adalah ciptaan, dan yang ingin diketahui adalah pencipta. Pertanyaannya adalah, “Mungkinkah ciptaan memahami pencipta dengan sempurna?” Niftrik dan Boland mengatakan bahwa : “Apabila kita mau berbicara tentang soal “ketritunggalan” maka haruslah terlebih dahulu kita insafi, bahwa kita berbicara tentang Allah. Allah itu Allah yang hidup, bukan sesuatu pengertian atau persoalan yang dapat diselidiki dengan akal budi kita sampai menjadi “terang”. Bila kita mau memecahkan suatu persoalan, maka paham kita harus melebihi persoalan itu, sehingga dapat kita tangkap dan kuasai. Tetapi sebaliknya yang terjadi, bila kita bertemu dengan Allah yang hidup, yakni kita “ditangkap” dan “dikuasai” oleh Dia”. (Niftrik & Boland: Dogmatika Masa Kini; 1984: 547-548).
Selain itu pula, tak dapat dipungkiri bahwa ada perbedaan kualitatif atau perbedaan sifat dasar di antara pencipta dan yang dicipta (Stephen Tong: Allah Tritunggal; 1990:15). Perbedaan ini menghadirkan gap atau jurang pemisah antara Allah dan manusia. Dengan demikian ketika seseorang hendak mempelajari doktrin Tritunggal, berarti ia sedang berbicara tentang Ia (Allah) yang luput dari segala usaha manusia untuk memahami-Nya. Pencipta adalah kekal, dan yang dicipta adalah fana. Tak mungkin yang fana memahami yang kekal dengan sempurna. Pencipta adalah “Yang tak terbatas” dan yang dicipta (ciptaan) adalah “yang terbatas” maka secara natural tak mungkin “yang terbatas” dapat memahami “Yang tak terbatas” sampai tuntas. Yang mungkin adalah bahwa “yang terbatas” dapat memahami “Yang tak terbatas” dalam batas-batas tertentu sesuai dengan keterbatasannya. Semuanya ini akan mengakibatkan kesulitan dalam memahami Allah, dalam hal ini adalah kebenaran Tritunggal.
c. Kebenaran Tritunggal adalah kebenaran mengenai Allah yang satu-satunya, Allah Yang Maha Esa (The Only One God)
Kenyataan bahwa Allah adalah Ia yang satu-satunya, dan tak ada yang lain seperti Dia, membuat tak mungkin menemukan sesuatu yang dapat menggambarkan tentang diri-Nya secara sempurna. Stephen Tong mengatakan : “Biasanya kita mengerti sesuatu karena sesuatu itu mempunyai persamaan dengan sesuatu yang lain, sehingga melalui persamaan itu kita menemukan analoginya. Karena ada persamaan, kita mempunyai jembatan analogis untuk pengertian kita, sehingga dari sesuatu yang sudah dimengerti kita loncat ke sesuatu yang belum kita mengerti, akhirnya kita mengerti semuanya. Tetapi di dalam kita mengerti Allah, tidak ada pembanding-Nya, tidak ada persamaan-Nya, sehingga tidak bisa dimengerti dengan rasio sepenuhnya”. (Stephen Tong: Allah Tritunggal; 1990: 16). Jikalau terpaksa ada sesuatu yang dipakai untuk menggambarkan diri-Nya, maka biasanya digunakan kata “seperti” untuk hal itu (A.W. Tozer: Mengenal Yang Maha Kudus; 1995: 15). Yang ”seperti” tentu bukanlah yang “disepertikan”. Jadi apa pun analogi yang digunakan untuk menjelaskan diri Allah, tentunya tak dapat menjelaskan realitas yang sebenarnya. Apabila mencoba membayangkan Allah itu seperti apa, maka harus menggunakan sesuatu yang bukan Allah sebagai bahan untuk diolah oleh pikiran; bagaimanapun membayangkan Allah, sebenarnya Allah itu tidak demikian. Hal inilah yang menyebabkan doktrin Tritunggal menjadi doktrin yang sulit dipahami.
2. Alasan Filosofis
Ketika ilmu pengetahuan mulai berkembang dan mencapai puncaknya pada abad ini, timbullah kecenderungan untuk menganggapnya sebagai segala-galanya. Kebenaran-kebenaran religius yang dianggap tidak masuk akal, dilihat sebagai suatu kebohongan belaka yang harus dibuang dan ditinggalkan. Filsuf Inggris, John Locke membagi pengetahuan menjadi 3 macam yaitu : (1) Yang masuk akal (rasional) yang menyangkut hal-hal yang kebenarannya dapat ditemukan melalui menguji, dan menelusuri pikiran-pikiran yang dimiliki dari sensasi dan refleksi itu; dan melalui deduksi secara alamiah mengetahui benar atau mungkin. (2) Yang tak masuk akal (kontra rasional), yaitu hal-hal yang tidak sesuai, atau tidak dapat dipadankan dengan pikiran maupun ide-ide yang jelas dan nyata. (3) Yang berada di atas kemampuan akal atau melampaui akal (supra rasional), yaitu hal-hal yang kebenaran atau kemungkinannya tidak dapat diperoleh dari prinsip-prinsip sebagaimana yang terdapat dalam pengetahuan yang rasional. (Colin Brown: Filsafat dan Iman Kristen I; 1994: 84; lihat juga Stephen Tong: Siapakah Kristus (Sifat & Karya Kristus); 1992, hal.3).
Contoh untuk ketiga pembagian ini adalah seperti keberadaan Allah yang esa adalah sesuai dengan (masuk) akal; keberadaan lebih dari satu Allah bertentangan dengan akal; kebangkitan orang mati melampaui kemampuan akal. Jika demikian, maka pertanyaan yang harus dipikirkan adalah, “Apakah doktrin Tritunggal itu tidak masuk akal (kontra rasional) atau berada d atas kemampuan akal (supra rasional)?”
Untuk menjawab pertanyaan ini, haruslah dimulai dari fakta bahwa manusia adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah. Atau dengan kata lain, manusia adalah “ada” karena diadakan oleh “Sang Mahaada” yang tidak pernah menjadi ada (Allah) dan ii menyangkut keseluruhan aspek dalam diri manusia termasuk rasionya. Jadi, rasio manusia itu adalah hasil ciptaan Allah dengan rasionya. Atau dengan kata lain Allah dengan rasio-Nya yang sempurna itu menciptakan rasio manusia. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa rasio manusia (yang ada pada manusia) itu adalah rupa atau gambar (replika) dalam kualitas yang lebih rendah dari Rasio Sempurna yang ada pada Allah itu sendiri.
Jika rasio manusia mempunyai kualitas yang lebih rendah dari “Rasio Sempurna”, maka tentunya Rasio Sempurna (Allah) harus diklasifikasikan ke dalam wilayah supra rasional. Tentu tak dapat dipungkiri bahwa di antara apa yang rasional dan apa yang supra rasional terdapat gap, ruang kosong, daerah vakum, atau daerah es seperti konsep Barth Gap, ruang kosong atau daerah vakum inilah yang mengakibatkan kesulitan-kesulitan rasional-filosofis di dalam memahami doktrin Tritunggal. Paul Tillich mengatakan bahwa iman akan Allah tak masuk akal, paradoks, namun bukan absurd. Dengan kata lain: hanya akal yang mengalami dapat mencapai Allah dan bukan akal yang menelaah. (Tillich dalam buku Poehlmann: Allah itu Allah; 1998: 64).
3. Alasan Empiris
Kesulitan empiris di dalam mempelajari doktrin Tritunggal adalah tidak adanya sesuatu (apa pun maupun siapapun) di dalam alam ini yang dapat dipakai sebagai gambaran yang sempurna terhadap konsep yang sempurna dari Allah Tritunggal. Hal ini disebabkan karena segala sesuatu yang ada di dunia (apa pun atau siapapun) ini bersifat alamiah (natural), sedangkan Allah Tritunggal bersifat supra alamiah (supra natural).Tentu hal ini masuk akan bahwa yang natural tak dapat menggambarkan Yang supra natural dengan sempurna seperti apa yang dikatakan Boettner : “Tidak perlu heran bahwa di dalam keallahan kita menemukan bentuk kepribadian yang unik dan berbeda dengan yang ditemukan di dalam manusia. Di dalam tingkat yang berkembang di dalam dunia, kita berpindah dari yang sederhana ke yang kompleks. Tanaman hidup tetapi tidak memiliki kesadaran. Binatang memiliki perasaan. Manusia jauh lebih tinggi dari binatang dengan memiliki akal budi, kesadaran moral dan jiwa kekal. Tingkatan yang tinggi di dalam manusia tidak dimengerti sama sekali oleh binatang, burung, dll. Maka tidak perlu heran apabila kita tidak bisa mengerti Allah Tritunggal”. (Boettner 1960: 108). Dengan demikian, maka tak dapat dielakkan lagi kesulitan-kesulitan empiris di dalam usaha memahami dengan sempurna kenyataan Allah Tritunggal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar